Header Ads

LightBlog

Raja-Raja Melayu dan Raja-Raja Sriwijaya


Benarkah Mereka Berasal Dari Minangkabau?
DAPUNTA HYANG SAILAENDRA, ANTARA DATUAK DI NGALAU DAN HYANG INDOJATI
MENURUNKAN DINASTI RAJA-RAJA MELAYU & SRIWIJAYA DARI GALUNDI NAN BASELO DI LERENG GUNUNG MARAPI, ISTANO LINGGAPURI

Berbagai pendapat yang muncul menjelaskan Melayu dan Sriwijaya tentang letak dan nama Raja-Rajanya masih menjadi pertanyaan karena simpangsiurnya informasi. Sebagai contoh yang menarik dan menjadi kunci pembuka bagi uraian-uraian selanjutnya adalah nama Raja san-fo-tsi tahun 1998 M berdasarkan kronik cina disebut sebagai se-li-ma-la-pi.

Se-li-ma-la-pi Melayu, Sriwijaya dan Puti Gunung Marapi. Tulisan ini ditemukan dalam kronik sung shih yang menceritakan sejarah Dinasti Sung di Cina. Kronik Cina Sung Shih dikenal sebagai buku 489, yang menulis catatan bahwa Raja San Fo Tsi tahun 1003 M bernama se-li-ma-la-pi.

Sementara itu Nia Kurnia (1882:79) menyatakan bahwa berdasarkan catatan dan pemberitaan sumber-sumber sejarah dari India, Tibet dan Nepal diketahui bahwa pada permulaan abad ke 11M Kerajaan Sriwijaya masih berdiri dan masih merupakan kejayaan kekuasaan di Sumatera.

Sumber-sumber sejarah itu tercantum pada sebuah prasasti dari Begala, India. Prasasti itu dikenal sebagai Piagam Leidan yang menyebutkan bahwa : "pada tahun 1006M, Raja Sriwijaya dan kedah yang negara bernama Marawijayatungga Warman dari keluarga Sailendra menghadiahkan sebuah desa sebagai persembahan kepada sang budha, dalam wihara yang dibangun ayahnya Cudawani Warman di Nagipattanna".

Keterangan ini didukung pula oleh sebuah mansukrip Nepal, abad ke 11 yang memuji negara Sriwijaya sebagai pusat kegiatan utama agama budha, dan memiliki area indah lokananantha di sriwayapura. Dan sebuah kronik Tibet yang ditulis pada abad ke 11 bernama durbodhaloka menyebutkan pula nama maharaja sri Cudamanirwarman dari sriwijayanagara di suwardawipa. (nia, 1982,ibid).

Dapat dipahami bahwa se-li-chu-la-wu-ni-fu-a-tiau-hwa adalah sebutan cina untuk maharaja sri cudamaniwarman dewa yang kemudian digantikan oleh anaknya yang bernama Marawijaya Tunggawarman tahun 1008 M.

Maharaja Sri Marawijaya Tunggawarman inilah yang namanya secara praktis ditransliterasikan cina sebagai se-li-ma-la-pi. Tetapi orang MinangKabau akan lebih mudah meluruskan bacaannya menjadi se-ri-ma-rap-pi atau sri marapi yang artinya cahaya gunung marapi atau raja gunung marapi atau julukan kebesaran nama maha raja Sri Marawijayatunggawarman sebagai Sri Maha Raja Gunung Marapi dari sebuah negeri cikal bakal negara (bijanegara) Srijayanagara di Suwarnadwipa.

Tidak salah bila Charles Otto Blagden (1920) lebih mempopulerkan nama Sriwijaya (dari Sriwijayanagara) melalui karangannya "the empire of the maharaja, king of the mountains, and lard of the isles". Kemudian disusul pula oleh Gabriel Ferrand (1922) tentang Sriwijaya dengan judul buku "L empire sumatanains de sriwijaya."

Sampai sekarang para ahli sejarah masih mempertanyakan tentang kerajaan besar yang pernah ada di nusantara ini. Banyak pertanyaan yang mengganjal tentang keberadaan Sriwijaya itu sendiri, antara lain:

Apakah Sriwijaya itu nama Raja, nama sebuah Negeri atau nama sebuah Kerajaan? Seperti yang dipertanyakan oleh Hendrik Kern (1913) ketika mentranskripsikan Prasasti Kota Kapur, yang menganggap bahwa nama itu adalah nama seorang Raja Sriwijaya. Sementara itu pada tahun 1918 George Coedes dari Perancis menolak anggapan Kern tersebut, dan mengungkapkan bahwa Sriwijaya adalah nama sebuah Negeri atau Kerajaan.

Dimanakah sebenarnya pusat Kerajaan Sriwijaya itu? Kalau memang diakui sebagai Maharaja Gunung (the king of mountains), dimanakah Gunungnya, dan apa-apa saja bentuk warisan budaya sebagai bukti kebesarannya? Bagaimana dan dimana?

Apabila memang orang Minagkabau sangat menghargai Tambo Minagkabau sebagai litere nenek moyangnya yang berisi sejarah (Edward Djamiris,1980;1) maka sejauh mana Tambo Minangkabau dapat memberi konstribusi yang dipahami baik oleh generasi muda pendukung kebudayan sendiri maupun oleh dunia luar berkenaan dengan informasi sejarah Minangkabau itu.

SAILENDRA berasal dari kata Saila dan Indra. Saila adalah nama suku yang mendiami wilayah sekitar Gunung Mahendragiri di India Selatan. Mahendragiri terdiri atas kata mahaindra dan giri. Mahaindra adalah nama dewa indra yang tertinggi dan bersemayam di puncak gunung. Diucapkan Mahendra, kemudian menjadi Mandra, Manduro nama salah satu puncak gunung Marapi yang disebut Puncak Manduro, penduduk sekitar lereng Gunung Marapi menyebutnya Bukit Manduro. Saila menjadi Sila atau Selo yang artinya kemudian menjadi salah satu cara duduk atau kedudukan yang disebut bersila atau baselo sebuah kerajaan awal di lereng Gunung Marapi. Oleh Tambo Minangkabau disebut sebagai Kerajaan Galundi Nan Baselo. Kerajaan Galundi telah mengukir namanya dengan gemilang dalam catatan sejarah tradisi sejak abad ke 11 SM sampai abad ke 10 SM.

Menurut keterangan tambo rajo-rajo di gunung marapi, salah seorang rajanya menjadi duli yang dipertuan masa itu, kemudian memindahkan tempat kedudukannya dan mendirikan pusat kediamannya yang baru yang disebut pasumayam, tempat persumayaman raja dengan bangunan-bangunan yang terdiri dari batu-batu. Karena itu komplek tersebut disebut Pasumayam Koto Baru. Terletak di sekitar ulu sungai una di sekitar lereng gunung marapi. Dalam perkembangannya kemudian berdiri pula perkampungan baru di sekitarnya untuk kedudukan raja-raja yaitu Sandi Laweh dan Padang Panjariangan. Pada awalnya hanya merupakan sebuah perkampungan raja dan tempat tinggal para petapa yang melakukan ibadah ritual bagi pemuja para dewa dari tempat-tempat yang tinggi. Lereng Gunung Marapi yang subur, serta sumber-sumber kehidupan yang menguntungkan membuat mereka betah untuk tinggal menetap, dan ramai dikunjungi oleh pendatang-pendatang baru sehingga membuat negeri di lereng Gunung Marapi menjadi terkenal.

Sebuah syair dari India yang termasyur dari abad ke-3 sm menyebutkan bahwa di sebelah timur ada negeri yang disebut trikuta nilaya. Negeri ini terletak di kawasan tiga puncak gunung. Salah satu puncaknya disebut Manduro atau Mandara salah satu dari himpunan perbukitan di bagian selatan Gunung Marapi.

Kosa kata Manduro atau Mandara berasal dari kata Maha Indra, oleh karena itu Manduro menjadi terkenal dizamannya dan menjadi nama lain dari Galundi Nan Baselo, sesuai dengan nama bukit yang di dekatnya. Manduro juga digunakan untuk menyebut nama Gunung Marapi secara keseluruhan. Tetapi juga memiliki nama lain yang dipakai untuk menyebut Gunung Marapi dengan nama Mahameru. Bahkan masih dipakai sampai abad ke 13 seperti yang tertulis pada Prasasti Saruaso. Itu sebabnya mereka memberi nama salah satu puncak bukit yang menjadi bagian tertinggi dari puncak Gunung Marapi dengan nama Mahendragiri, yang artinya Gunung Maha Indra, sesuai dengan nama gunung yang mereka tinggalkan dari negeri asal mereka. Dan sebuah sungai yang berhulu dari gunung ini mengalir ke pesisir timur bernama Indragiri. Sungai yang mengalir dari Gunung Indra ini diberi nama Batang Indragiri.

Mahendragiri sebagai nama puncak Gunung Marapi yang terletak di pusat pulau sumatera bagian tengah tidaklah begitu populer, tetapi bukit Manduro yang merupakan nama salah satu puncak Gunung Marapi cukup dikenal oleh masyarakat yang tinggal di sekitar lereng Gunung Marapi tersebut. Di sekitar lereng Gunung Marapi tersebut terdapat perkampungan-perkampungan seperti Batur, Sungai Jambu, Bulan Sariak, Jambak Ulu dan Lubuak Antan sampai sekarang.

Sementara puncak yang lain dari Gunung Marapi disebut Bukit Siguntang-guntang Marapi yang juga berada pada lokasi perkampungan Galundi Nan Baselo. Walaupun kemudian berabad-abad lamanya tenggelam dalam kabut sejarah. Perkampungan tertua seperti Sandi Laweh, Padang Panjariangan dan Galundi Nan Baselo, Pasumayam Koto Baru, Batur dan lain-lainnya itu hilang dari peradaban berita-berita sejarah. Sementara Prasasti Saruaso hanya menyebut adanya dua orang pemimpin pada zaman itu yang bernama Perpatih Tundang dan Tumenggung Kudawira.

Galundi Nan Baselo muncul kembali pada abad ke 14 ketika lahirnya tokoh pembaharuan Datuak Suri Dirajo yang menjadi Penghulu di lereng puncak Gunung Marapi bersama dua orang kemenakannya Datuak Katumanggungan dan Datuak Parpatih Nan Sabatang.

Kelak kemudian dikenal sebagai pimpinan dan pemikir-pemikir sejati yang melahirkan konsep tatanan sosial hidup berdampingan secara damai dan demokratis dengan karakter khas dan spesifik, yang terkenal dengan Sistem Kelarasan Koto Piliang menurut konsep Datuak Katumanggungan dan Bodi Caniago menurut konsep Datuak Perpatih Nan Sabatang. Hubungan yang dinamis antara kedua sistem ini melahirkan Tatanan Adat Alam Minangkabau.

Perkampungan baru dari Galundi Nan Baselo yang disebut juga Bukit Siguntang-guntang Gunung Marapi atau Bukit Siguntang-guntang Mahameru sekitar abad ke-14 telah berkembang sampai ke hilirnya dengan nama yang sampai sekarang disebut Batur.

Sandi Laweh dan Padang Panjariangan kemudian ditinggalkan penduduknya, demikian juga dengan perkampungan lama Galundi Nan Baselo yang disebut Bukit Siguntang-guntang tidak saja menjadi desa Batur, tetapi berkembang menjadi nagari Sungai Jambu yang terdiri dari koto-koto Sungai Jambu, Batur, Bulan Sariak, Jambak Ulu dan Lubuak Antan. Itulah yang sekarang bernama Nagari Sungai Jambu, dengan koto-kotonya yang berada di bahu Gunung Marapi.

Dari Batur terlihat Gunung Marapi dengan salah satu puncaknya yang terletak di selatan dengan nama Gunung (Bukit) Manduro. Di bawah lerengnya pada ketinggian lebih kurang 1000m terdapat perkampungan Sandi Laweh dan sebuah bukit yang disebut Gunung Ranjani dengan perkampungan Padang Panjariangan.

Di sebelah kiri akan terlihat jelas Bukit Siguntang-guntang dan bawahnya terletak bekas perkampungan Galundi Nan Baselo yang juga dikenal sebagai perkampungan Bukit Siguntang-guntang secara keseluruhan. Itulah Puncak Gunung Marapi Pusat Jala Alam Minangkabau yang penuh misteri.

Sumber: Geocities.com

2 comments:

  1. Penulis M Muhar Omtatok
    Sumber : http://halibitonganomtatok.wordpress.com

    KALENDER SIMALUNGUN
    Tidak diketahu pasti, sejak kapan Kalender Simalungun (Parhalaan) mulai dipakai. Bahkan angka tahun juga tidak tertera. Parhalaan justru lebih popular dewasa itu untuk dunia spiritual daripada penanggalan data.
    Dalam Pustaha yang ditemukan di Talang Tua, yang ditulis pada tanggal Mudaha Ni Mangadop (11) bulan Sipaha Opat (4) tahun 686M (608 Saka), ditulis dalam bahasa lingua franca Sriwijaya dan Nagur, begini bunyinya:
    “Syaka warsyatita 608 ding pratipada tahun saka leat 608 dina parmula syukpalaksya wulon waisyaka tatkalanya mudaha ni poltak bulan sipaha opat hatihani yang mangmang sumpah ini nipahat di welanya yang wala shariwidjaya kaliwat hatihani bola sariwidjaya leat manapik yang bhuni Jawa tidak bakti mengalah bumi Jawa naso tunduk ka Syariwidjaya hu ariwidjaya”.
    Jika kita artikan dalam gaya tutur bahasa Simalungun, begini jadinya: “Sanggah bani mudaha ni Popoltak (mangadop) tahun saka 608 na salpu bulan sipaha ompat, panorang aima bulawan on iuhirhon sangat dunghonsa (dobkonsi) ialah bala ni ariwidjaya tanoh Jawa nao tunduk hu bani sariwidjaya”.
    Disebutkan ‘mudaha ni Poltak Bulan Sipaha Opat’, menandakan kalau Kalender simalungun (Parhalaan) sudah dipakai dikala itu.
    Mirip dengan tahun hijriyah, Almanak Simalungun (Parhalaan), penentuan dimulainya sebuah hari (Ari) pada Almanak Simalungun berbeda dengan Almanak Masehi. Pada sistem Kalender Masehi, sebuah hari/tanggal dimulai pada pukul 00.00 waktu setempat. Namun pada sistem Kalender Simalungun, sebuah ari dimulai ketika terbenamnya matahari.
    Parhalaan Simalungun dibangun berdasarkan rata-rata silkus sinodik bulan kalender lunar, memiliki 12 bulan dalam setahun. Dengan menggunakan siklus sinodik bulan, bilangan hari dalam satu tahunnya adalah (12 x 29,53059 hari = 354,36708 hari).Hal inilah yang menjelaskan 1 tahun Parhalaan Simalungun lebih pendek sekitar 11 hari dibanding dengan 1 tahun Kalender Masehi. .
    http://dearmawantomunthe.wordpress.com/2012/01/04/100/
    http://simalungunonline.com/alamanank-simalungun.html
    http://simalungunonline.com/%E2%80%9Cperjalanan-simalungundamanik-dalam-tinjauan-habonaron%E2%80%9D.html
    http://suhuomtatok.wordpress.com/2007/05/28/pustaha-laklak/
    http://puakmelayu.wordpress.com/2008/12/29/tok-pawang/
    http://puakmelayu.wordpress.com/category/uncategorized/
    http://puakmelayu.blogspot.com/search/label/IKHWAL%20DAN%20SEJARAH%20MELAYU
    http://puakmelayu.blogspot.com/
    http://puakmelayu.blogspot.com/2008/12/siapa-agaknya-melayu-itu.html
    http://suhuomtatok.files.wordpress.com/2007/05/rajah2-simalungun.jpg?w=500
    http://halibitonganomtatok.files.wordpress.com/2010/04/22441_1262408254059_1645307310_636077_6677367_n.jpg?w=250&h=300

    ReplyDelete
  2. Demikian pula dalam hikayat ”Parpadanan Na Bolag” yang mengisahkan kerajaan ”Nagur” yakni kerajaan Batak Timur Raya. Dalam catatan pengembara asing, kerajaan ini sering disebut ”Nakur”, atau ”Nakureh” maupun ”Jakur”. Kerajaan ini, menurut M.O. Parlindungan dalam bukunya Tuanku Rao (1964) berdiri pada abad ke 6-12. Rajanya yang terkenal adalah Mara Silu yang oleh penulis Karo disebut bermarga Ginting Pase dan masyarakat Batak Timur Raya menyebut marga Damanik. Nama Mara Silu banyak disebut didalam ”Hikayat Raja-raja Pasai”, ”Sejarah Melayu”, dan ”Parpadanan Na Bolag” dan diyakini sebagai Raja Nagur dari Batak Timur Raya. Menurut catatan MOP dalam bukunya ”Tuanku Rao” sepenakluk Aceh terhadap ”Nagur”, Mara Silu dan laskar yang tersisa menghancurkan bandar Pase (Aceh) pada tahun 1285 dan masuk Islam serta berganti nama menjadi Malikul Saleh, Sultan Samudra Pase yang pertama. Sejak saat itu, kerajaan Nagur tidak lagi ditemukan dalam tulisan-tulisan selanjutnya.
    =============
    2. Catatan Tentang Nagur
    Namun demikian, apabila angka yang disebutkan oleh Parlindungan tersebut dikomparasikan dengan laporan admiral Zheng Zhe (Cheng Ho) maka akan didapat bahwa, hingga tahun 1423, kerajaan Nagur masih berdiri. Didalam buku Zheng Zhe: Bahariawan Muslim Tionghoa (2002) disebut bahwa, admiral tersebut mengunjungi Nagur sebanyak 3 (tiga) kali. Pasukannya sangat terkenal dengan senjata panah beracun dan berhasil menewaskan raja Aceh. Dalam laporan pengelana Tionghoa tersebut, nama Nagur dituliskan dengan ‘Nakkur’; ‘Nakureh’ atau ‘Japur’. Hal senada juga diketahui dalam laporan Ma Huan yakni Ying Yei Seng Lan, dimana nama Nagur yakni ‘Napur’ merupakan kerajaan ‘Batta’

    Kerajaan Nagur juga banyak disebut dalam tulisan-tulisan Melayu seperti yang dituliskan oleh T. Lukman Sinar SH (Pewaris kesultanan Serdang), dalam bukunya Sari Sejarah Serdang Jilid-I (1974) ataupun Bangun dan Runtuhnya Kerajaan Melayu Sumatra Timur (2007), ataupun TM. Lah Husny dalam bukunya Lintasan Sejarah Peradaban Penduduk Melayu Deli Sumatra Timur, (1976). Demikian pula dalam buku Tarik Aceh Jilid II yang batal diterbitkan. Selanjutnya, dalam tulisan-tulisan versi Karo seperti yang dilakukan oleh Brahmo Putro dalam bukunya Karo dari Zaman ke Zaman, (1984) justru cenderung ditulis dengan emosional, dengan cara meng-Karo-kan ARU, Nagur dan Batak Timur Raya. Sebagaimana diketahui, yang dimaksud dengan ‘Timur Raja’ dalam tulisan pemerintah colonial adalah kawasan Simalungun karena posisinya yang percis berada di pesisir Timur Sumatra Utara.
    =====================
    http://ipie3.wordpress.com/2009/06/06/kerajaan-nagur-di-simalungun/
    http://id.wikipedia.org/wiki/Damanik
    http://dearmawantomunthe.wordpress.com/2012/01/04/100/
    http://simalungunonline.com/alamanank-simalungun.html
    http://simalungunonline.com/%E2%80%9Cperjalanan-simalungundamanik-dalam-tinjauan-habonaron%E2%80%9D.html
    http://suhuomtatok.wordpress.com/2007/05/28/pustaha-laklak/
    http://puakmelayu.wordpress.com/2008/12/29/tok-pawang/
    http://puakmelayu.wordpress.com/category/uncategorized/
    http://puakmelayu.blogspot.com/search/label/IKHWAL%20DAN%20SEJARAH%20MELAYU
    http://puakmelayu.blogspot.com/
    http://puakmelayu.blogspot.com/2008/12/siapa-agaknya-melayu-itu.html
    http://suhuomtatok.files.wordpress.com/2007/05/rajah2-simalungun.jpg?w=500
    http://halibitonganomtatok.files.wordpress.com/2010/04/22441_1262408254059_1645307310_636077_6677367_n.jpg?w=250&h=300
    http://archive.kaskus.co.id/thread/3991820/0/budaya-simalungun

    ReplyDelete

Galeri

Di bawah ini adalah galeri imej dari semua posts yang tersaji di blog ini. Selain sebagai galeri, panel ini juga berfungsi sebagai jalan pintas untuk mengakses semua post, cukup dengan satu klik pada masing-masing imej. Scroll-down untuk melihat seluruh posts, atau pilih kategori post berdasarkan tombol-tombol pilihan yang tersedia. Semoga bermanfaat!