Berjuta-juta dari Deli–Satoe Hikajat Koeli Contract
Oleh Emil W. Aulia
Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta 2006
ISBN 979-22-2063-8
VIII + 262 HALAMAN
Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta 2006
ISBN 979-22-2063-8
VIII + 262 HALAMAN
Suatu hari, ketika mengunjungi Museum Nasional di Jalan Medan Merdeka Barat–Jakarta, saya pernah tertegun lama. Di bagian museum yang memamerkan berbagai koleksi mata uang dalam sejarah negeri ini, saya melihat sebuah uang logam yang terbuat dari tembaga dan bernilai satu benggol.
Hal yang menarik dari mata uang tersebut ialah, bahwa ia bukan dikeluarkan oleh otoritas moneter pada waktu itu, yaitu Javanesche Bank, tapi oleh sebuah toko kelontong milik seorang Tionghoa di sebuah perkebunan di Pantai Timur Sumatera Utara. “Toko Babah A Siong–Afdeling Sei Bamban.” Itulah yang tertera di mata uang tersebut.
Sementara memandangi mata uang tersebut, imajinasi saya melayang ke Pantai Timur Sumatera Utara pada permulaan tahun 1900-an: Berbagai maskapai Belanda baru saja membuka perkebunan tembakau dan karet. Ribuan buruh–dari Cina, Sri Lanka dan Jawa– didatangkan (dengan bujuk-rayu, tipu-daya atau paksaan) untuk mengurus perkebunan tersebut. Pantai Timur Sumatera, atau yang lebih dikenal sebagai Tanah Deli itu, menjadi negeri dolar, tempat orang mengadu peruntungan.
Tapi di balik kisah sukses para penanam modal asing itu kita juga mendengar banyak cerita tentang ratapan dan penderitaan para buruh. Berbagai cara dilakukan oleh pengusaha perkebunan agar tenaga kerja murah dan patuh itu mau mengikat kontrak seumur hidup. Dengan liciknya para pengusaha berusaha untuk menjebak buruh dan “menghisap darahnya” sebanyak-banyaknya: Menggelar perjudian dan pelacuran pada hari-hari gajian, agar buruh bangkrut, terpaksa berhutang dan kembali mengikat kontrak dengan perkebunan.
Mata uang partikelir yang dikeluarkan oleh toko kelontong Tionghoa di tingkat kecamatan itu adalah sebuah contoh bagaimana–dengan liciknya–para pedagang berkolusi dengan pengusah perkebunan agar seluruh kebutuhan hidup para buruh tidak lari kemana-kemana, tapi hanya ke kantong si pedagang (yang memegang monopoli), pengusaha, birokrat pemerintah kolonial dan beberapa bangsawan pribumi.
Buku “Berjuta-juta dari Deli” ini membantu menghidupkan imajinasi saya—dan imajinasi kita yang akan membacanya – tentang potongan- potongan kisah sedih yang pernah terjadi di Tanah Deli. Dengan bahasa yang baik dan deskripsi yang mencekam, pengarang mengajak kita untuk bersama-sama merekonstruksi kisah perjalanan para buruh yang miskin dan lugu itu, dari desanya di Jawa Tengah hingga ke belantara Sumatera.
Dengan sangat hidup, Emil W. Aulia memperlihatkan kepada kita bagaimana para agen kantor emigrasi (penyalur tenaga kerja) beraksi di desa-desa, bagaimana buruh diangkut dari Jawa ke Sumatera, dan bagaimana kehidupan mereka di “tanah perjanjian.” Adegan caci-maki dan pukulan oleh mandor (dan asisten serta administratur perkebunan), silih-berganti digambarkan dengan pelecehan seksual yang dilakukan oleh tuan-tuan yang berkuasa terhadap perempuan Jawa yang lugu itu, dan dengan adegan perjudian, ronggeng dan pelacuran yang sengaja diselenggarakan untuk menjebak para buruh. Di sana-sini kepada kita juga digambarkan betapa sepi dan hampanya hidup yang dijalani oleh tuan-tuan dan nyonya-nyonya Eropa yang tinggal di rumah-rumah besar di seantero perkebunan tersebut.
Buku “Berjuta-juta dari Deli” ini sebenarnya lebih merupakan kumpulan sketsa ketimbang sebuah novel. Pengarang berangkat dari sebuah laporan nyata tentang kesewenang-wenangan di Tanah Deli, yang ditulis oleh seorang pengacara berkebangsaan Beland (Mr. J. Van den Brand), dan yang pada permulaan tahun 1900-an menyebabkan kegemparan di Belanda.
Di seputar laporan nyata inilah Emil W. Aulia membangun sketsanya tentang berbagai nasib malang yang dialami oleh para buruh, dan tentang kebusukan hidup yang dijalani oleh para pemilik modal dan birokrat Belanda, pedagang Tionghoa, dan bangsawan pribumi.
Sama halnya seperti mata uang benggol “Toko Babah A Siong” di Museum Nasional Jakarta, maka berbagai gedung dan jalan yang terdapat di dalam cerita ini masih bisa dikenali hingga saat ini di kota Medan dan sekitarnya. Dan di antara berbagai gedung dan jalan yang merupakan saksi sejarah yang kaku dan bisu itulah. Emil W. Aulia membangun sebuah kisah yang hidup tentang manusia.
Buku “Berjuta-juta dari Deli” adalah sebuah fiksi sejarah yang enak dan renyah untuk dibaca. Dan mengingat bahwa sejarah “koeli contract” telah menorehkan sebuah warna yang khas dan signifikan dalam kehidupan sosial-budaya Indonesia (kususnya Sumatera Utara)
hingga saat ini, maka saya rasa “Berjuta-juta dari Deli” adalah sebuah buku yang memang layak untuk dibaca.
hingga saat ini, maka saya rasa “Berjuta-juta dari Deli” adalah sebuah buku yang memang layak untuk dibaca.
Post a Comment