Berebut Budaya Di Perbatasan
Saat sebagian besar masyarakat Indonesia berleha-leha dan baru kebakaran jenggot oleh klaim-klaim Malaysia, kota-kota di perbatasan dengan negara itu mesti bergelut dengan upaya pengambilan budaya secara terang-terangan.
Heran betul Suryatati A. Manan mendengar perkataan tamunya. Walikota Tanjung Pinang, Bintan, Kepulauan Riau ini bersama masyarakatnya baru saja meresmikan slogan baru kota mereka: Kota Gurindam Negeri Pantun.
Kala itu di tahun 2007 seorang tamu asal Malaysia protes penetapan slogan tersebut karena menurutnya pantun berasal dari Malaysia. “Berdirinya kota Malaka itu ada pantunnya,” kata Suryatati menirukan ucapan tamunya itu. Itu bukan kejadian pertama dan terakhir kota ini berurusan dengan utusan-utusan negara tetangga itu.
Seorang pejabat dinas pariwisata kota ini bercerita ia berkali-kali menerima permintaan dari negeri jiran itu agar mereka dikirimi guru yang bisa mengajar tarian khas melayu.Sering pula datang orang yang berniat mendokumentasikan berbagai artefak kebudayaan melayu yang ada di Tanjung Pinang. Permintaan yang selalu ditolak.
“Kalau mereka ingin menikmati budaya melayu ya datang saja ke sini, bukan dibawa ke sana,” ujarnya. Menghadapi “serbuan” itu, masyarakat Tanjung Pinang tak reaktif dengan membuat aksi sweeping warga Malaysia. Karena banyak dari orang Malaysia yang berkunjung itu sebagai wisatawan dan itu justru mendatangkan devisa. Sebaliknya mereka justru terinspirasi merawat kebudayaan lokal dengan mendokumentasikan pantun dengan target membukukan sejuta pantun klasik dan modern. Sejauh ini sudah ada 10 ribu pantun yang berhasil dikumpulkan. Kota ini juga menargetkan membangun istana pantun yang rencananya akan selesai pada 2012.
Dokumentasi produk budaya asli Indonesia juga dilakukan pengamat kuliner, Bondan Winarno., yang kaget karena Malaysia memasukkan kuetiau (Malaysia menyebutnya char kuey teow atau kuetiau goreng) sebagai warisan nasionalnya. Padahal masakan itu sejatinya tradisi kuliner Tionghoa bukan Melayu. Toh Malaysia beralasan kuetiau mereka itu khas Penang karena dimasak memakai kerang dan pakai kecap. Ketimbang meributkan daftar Malaysia National Heritage yang kabarnya juga memasukkan rendang di dalamnya, Bondan justru terinspirasi memulai proyek pendataan kuliner khas Indonesia.
Ia bertekad menerbitkan dokumentasi masakan yang layak menjadi pusaka kuliner Indonesia. Langkah Bondan ini barangkali bisa diikuti setiap orang di bidangnya masing-masing misalnya pendataan motif-motif batik atau juga flora dan fauna. Nah akan sangat baik jika hasil dokumentasikan itu dibukukan karena buku memang diakui sebagai sumber informasi dan rujukan resmi ketimbang lembaran dokumen pribadi ataupun data yang dimuat dalam situs internet.
Kalaupun ada yang nekat mengklaim warisan budaya Indonesia, bisa dibantah dengan menyodorkan buku dokumentasi yang disusun dengan riset yang sahih tadi. Klaim-klaim yang dibuat negara tetangga justru mesti ditanggapi dengan mengarahkan energi pada langkah-langkah yang positif.
Blog TEMPO Interaktif | 16 September 2009
Post a Comment