Kesultanan Johor-Riau-Lingga
Pada puncak kejayaannya Kesultanan Johor-Riau mencakup wilayah Johor sekarang, Pahang, Selangor, Singapura, Kepulauan Riau, dan daerah-daerah di Sumatera seperti Riau Daratan dan Jambi.
Sebagai balas jasa atas bantuan merebut tahta Johor Sultan Hussein Syah mengizinkan Britania pada 1819 untuk mendirikan pemukiman di Singapura. Dengan ditandatanganinya Traktat London tahun 1824 Kesultanan Johor-Riau dibagi dua menjadi Kesultanan Johor, dan Kesultanan Riau-Lingga. Pada tahun yang sama Singapura sepenuhnya berada di bawah kendali Britania. Riau-Lingga dihapuskan oleh pemerintah Hindia Belanda pada tahun 1911.
Pada tahun 1914, Sultan Ibrahim, dipaksa untuk menerima kehadiran Residen Britania. Dengan demikian Johor efektif menjadi koloni Mahkota Britania.
Johor menjadi salah satu negara bagian Malaysia ketika negara itu didirikan pada 1963.
Perang Segi Tiga
Sultan Alauddin Riayat Syah membangun sebuah kota di Johor Lama yang terletak di tebing Sungai Johor dan dari situ dia melancarkan serangan terhadap Portugis di Melaka. Baginda senantiasa bekerjasama dengan saudaranya di Perak dan juga dengan Sultan Pahang untuk merebut Malaka kembali.
Pada masa yang sama, di sebelah utara Sumatera, Kerajaan Aceh mulai mengembangkan pengaruhnya untuk menguasai Selat Melaka. Selepas kejatuhan Malaka kepada Portugis yang beragama Nasrani, pedagang-pedagang Muslim mula menjauhkan diri dari Malaka dan singgah di Aceh. Melihat keadaan itu Portugis merasa tersaingi karena hasil perdagangannya semakin berkurang.
Portugis dan Johor senantiasa berperang yang menyebabkan Aceh melancarkan serangan terhadap kedua kekuatan itu. Kebangkitan Aceh di Selat Melaka mengakibatkan Johor dan Portugis berdamai dan bekerjasama melemahkan Aceh. Tetapi setelah Aceh menjadi lemah, Johor dan Portugis kembali berperang.
[sunting] Belanda di Melaka
Pada abad ke-17, Belanda tiba di Asia Tenggara. Belanda bukanlah sekutu atau kawan Portugis dan hal ini menyebabkan Belanda bersekutu dengan Johor untuk memerangi Portugis di Malaka. Akhirnya pada tahun 1641, Belanda dan Johor berhasil mengalahkan Portugis. Melaka kemudian menjadi milik Belanda sehingga Perjanjian Inggeris-Belanda 1824 ditandatangani.
[sunting] Perang Johor-Jambi
Pada waktu Perang Segi Tiga, Jambi yang berada di bawah kekuasaan Johor menjadi tumpuan ekonomi dan politik. Pada tahun 1666, Jambi mencoba melepaskan diri dari kekuasaan Johor dan di antara tahun 1666 hingga tahun 1673 terjadi peperangan antara Johor dan Jambi. Ibu kota Johor, Batu Sawar dihancurkan oleh tentara Jambi. Hal ini menyebabkan ibu kota Johor berpindah-randah.
Pada tahun 1679, Laksamana Tun Abdul Jamil menyewa pasukan upahan Bugis untuk bersama-sama dengan pasukan Johor menyerang Jambi. Tidak lama kemudian Jambi pun berakhir.
Krisis antara Johor dan Jambi bermula disaat kedua belah pihak berselisih paham mengenai perebutan kawasan yang bernama Tungkal. Pada masa ini Johor diperintah oleh Sultan Abdul Jalil Syah III dan pemerintahan lebih banyak dimainkan oleh Raja Muda. Dalam usaha untuk mendapatkan Tungkal dari tangan orang Jambi, orang Johor telah menghasut penduduk Tungkal untuk memberontak. Hal ini menimbulkan kemarahan Pemerintah Jambi. Namun kekuatan Johor yang disegani pemerintah Jambi pada waktu itu menyebabkan Jambi memilih untuk berdamai. Ketegangan antara Johor dan Jambi dapat diredakan karena perkawinan antara Raja Muda Johor dengan Puteri Sultan Jambi pada tahun 1659.
Namun persengketaan antara Johor dan Jambi kembali meletus dikarenakan tindakan kedua-dua pihak yang saling menghina kedaulatan kerajaan masing-masing. Johor kembali berperang dengan membawa 7 buah kapal untuk menyerang perkampungan nelayan Jambi pada bulan Mei 1667. Kegiatan perdagangan semakin merosot akibat perperangan yang terjadi karena tidak ada jaminan keselamatan kepada pedagang untuk menjalankan perdagangan di kawasan bergolak ini. Hal ini menyebabkan kerugian ekonomi kepada Johor. Puncak peristiwa peperangan ini terjadi saat Pengeran Dipati Anum mengetuai sebuah angkatan perang untuk menyerang dan memusnahkan Johor secara mengejutkan pada 4 April 1673. Serangan ini telah melumpuhkan sistem pemerintahan kerajaan Johor. Dalam usaha menyelamatkan diri, Raja Muda bersama seluruh penduduk Johor telah lari bersembunyi di dalam hutan. Bendahara Johor ditawan dan dibawa pulang ke Jambi.
Sultan Abdul Jalil Syah III juga melarikan diri ke Pahang. Baginda akhirnya meninggal dunia di sana pada 22 November 1677. Perperangan yang menyebabkan kekalahan kerajaan Johor ini telah mengakibatkan kerugian yang besar kepada Johor kerana Jambi telah bertindak merampas semua barang berharga milik kerajaan Johor termasuk 4 tan emas, sebagian besar senjata api yang merupakan simbol kemegahan dan kekuatan Johor. Kehilangan senjata api dan tentara dalam jumlah besar menyebabkan kerajaan Johor tidak dapat berbuat apa-apa, dan hal ini secara tidak langsung meruntuhkan kerajaan Johor.
[sunting] Pengaruh Bugis dan Minangkabau
Sultan Mahmud Syah II wafat pada tahun 1699 tanpa meninggalkan harta warisan. Melihat keadaan itu, Bendahara Abdul Jalil melantik dirinya sebagai sultan baru yang bergelar Sultan Abdul Jalil Riayat Syah IV. Tetapi timbul ketidakpuasan di kalangan pembesar-pembesar lain atas perlantikan itu.
Orang Bugis yang memainkan peranan penting sewaktu Perang Johor-Jambi mempunyai pengaruh yang kuat di Johor. Selain daripada orang Bugis, orang Minangkabau juga mempunyai pengaruh yang kuat. Orang Bugis dan Minangkabau percaya dengan kematian Sultan Mahmud II, mereka dapat mengembangkan pengaruh mereka di Johor. Di kalangan orang Minangkabau terdapat seorang putra dari Siak yaitu Raja Kecil yang mengaku dirinya sebagai pewaris tunggal Sultan Mahmud II. Raja Kecil menjanjikan kepada orang Bugis bahwa apabila mereka menolongnya menaiki tahta kerajaan, dia akan melantik ketua orang-orang Bugis sebagai Yam Tuan Muda Johor.
Pada waktu itu orang-orang Bugis telah pergi ke Selangor untuk mengumpulkan orang-orangnya sebelum melancarkan serangan. Namun pada tahun 1717, Raja Kecil dan pasukan Minangkabau dari Siak telah menyerang Johor terlebih dahulu setelah terlalu lama menunggu kedatangan orang-orang Bugis. Pada 21 Maret 1718, Raja Kecil telah menawan Panchor. Raja Kecil melantik dirinya sebagai Yang Dipertuan Johor dan bergelar Sultan Abdul Jalil Rahmad Syah I. Setelah Raja Kecil berhasil menduduki tahta Johor, orang-orang Bugis datang menuntut janji untuk dilantik sebagai Yam Tuan Muda. Permintaan ini tidak dipenuhi Raja Kecil karena orang-orang Bugis tidak memberikan bantuan sebagaimana yang diminta oleh Raja Kecil.
Tidak puas dengan pelantikan Raja Kecil, bekas Bendahara Abdul Jalil meminta Daeng Parani, pemimpin orang Bugis, untuk menolongnya mendapatkan tahta. Permintaan ini disetujui orang-orang Bugis karena mereka juga kecewa tidak dapat menuntut jabatan Yam Tuan Muda. Pada tahun 1722, Raja Kecil terpaksa meletakkan tahta karena pengaruh Bugis. Anak Bendahara Abdul Jalil kemudiannya dilantik menjadi sultan dengan gelar Sultan Sulaiman Badrul Alam Shah. Tetapi Sultan Sulaiman hanyalah seorang sultan boneka yang tidak mempunyai kekuasaan karena Daeng Merewah yang memegang kuasa sebagai Yamtuan Muda.
Raja-raja Johor
[sunting] Raja-raja Kesultanan Johor-Riau (1528-1824)
- 1528-1564: Sultan Alauddin Riayat Syah II (Raja Ali/Raja Alauddin)
- 1564-1570: Sultan Muzaffar Syah II (Raja Muzafar/Radin Bahar)
- 1570-1571: Sultan Abd. Jalil Syah I (Raja Abdul Jalil)
- 1570/71-1597: Sultan Ali Jalla Abdul Jalil Syah II (Raja Umar)
- 1597-1615: Sultan Alauddin Riayat Syah III (Raja Mansur)
- 1615-1623: Sultan Abdullah Ma'ayat Syah (Raja Mansur)
- 1623-1677: Sultan Abdul Jalil Syah III (Raja Bujang)
- 1677-1685: Sultan Ibrahim Syah (Raja Ibrahim/Putera Raja Bajau)
- 1685-1699: Sultan Mahmud Syah II (Raja Mahmud)
- 1699-1720: Sultan Abdul Jalil IV (Bendahara Paduka Raja Tun Abdul Jalil)
- 1718-1722: Sultan Abdul Jalil Rahmat Syah (Raja Kecil/Yang DiPertuan Johor)
- 1722-1760: Sultan Sulaiman Badrul Alam Syah (Raja Sulaiman/Yang DiPertuan Besar Johor-Riau)
- 1760-1761: Sultan Abdul Jalil Muazzam Syah
- 1761: Sultan Ahmad Riayat Syah
- 1761-1812: Sultan Mahmud Syah III (Raja Mahmud)
- 1812-1819: Sultan Abdul Rahman Muazzam Syah (Tengku Abdul Rahman)
[sunting] Raja-raja Kesultanan Johor (1824-sekarang)
- 1819-1835: Sultan Hussain Shah (Tengku Husin/Tengku Long)
- 1835-1877: Sultan Ali (Tengku Ali; tidak diakui oleh Inggris)
- 1855-1862: Raja Temenggung Tun Daeng Ibrahim (Seri Maharaja Johor)
- 1862-1895: Sultan Abu Bakar Daeng Ibrahim (Temenggung Che Wan Abu Bakar/Ungku Abu Bakar)
- 1895-1959: Sultan Ibrahim ibni Sultan Abu Bakar
- 1959-1981: Sultan Ismail ibni Sultan Ibrahim
- 1981-2010: Sultan Mahmood Iskandar Al-Haj
- 2010 -?? : Sultan Ibrahim Ismail ibni Almarhum Sultan Iskandar
Dalam situs ini:
Dalam situs Wikipedia
untuk itu kami menggagas pertemuan dan penelitian sejarah emporium melayu di nusantara,,,, banyak literatur yg menceritakan asal muasal keturunan raja2 melayu.... baik dari garis palembang (raja si gentar Alam) maupun dari keturunan bugis, dan dari puak melayu itu sendiri....... kalau memang ada foundation yg sanggup membiayai kita dapat memulai kajian sejarah ini...........
ReplyDeleteartikal ni tak menyatakan kejayaan serangan balas johor ke atas jambi 1669.
ReplyDelete