Selayang Pandang, Kesultanan Negeri Trengganu
Sejarah awal berdirinya Kesultanan Terengganu belum dapat dipastikan. Sejarah keberadaan kesultanan ini dapat dirunut dari beberapa fakta sejarah berikut ini. Saudagar asal China, Chao Ju Kua menyebutkan bahwa pada tahun 1225 M, Negeri Terengganu pernah menjadi bagian dari wilayah jajahan Palembang. Kitab Negarakertagama yang ditulis oleh Prapanca pada tahun 1365 juga menyebutkan bahwa Terengganu, Paka, dan Dungun pernah di bawah taklukan Majapahit. Hal itu membuktikan bahwa Terengganu memang pernah ada dalam sejarah.
Diperkirakan Kesultanan Terengganu berdiri sebelum abad ke-18. Terengganu pernah berada di bawah kekuasaan Kerajaan Johor. Ketika itu yang bertugas memerintah Terengganu adalah tiga orang pembesar Kerajaan Johor, yaitu Paduka Megat Seri Rama beserta Laksamana dan Bendahara Hasan. Tun Zain Indera kemudian meneruskan tugas mereka. Tiga anak Tun Zain Indera, yaitu Tun Yuan, Tun Sulaiman (Tok Raja Kilat), dan Tun Ismail kemudian memerintah Terengganu. Tepatnya, Tun Ismail memerintah di Pantai Layang (Balik Bukit Kuala Terengganu), sedangkan Tun Yuan sebagai Bendahara dan Tun Ismail sebagai Menteri Tersat.
Dalam perkembangan selanjutnya, Tun Zainal Abidin bin Bendahara Tun Habib Abdul Majid (Bendahara Padang Saujana) mendirikan Kesultanan Terengganu, sebuah kesultanan Melayu yang berdiri sendiri. Diperkirakan Tun Zainal Abidin menjadi Sultan Terengganu I pada tahun 1708 M. Hal ini didasarkan pada bukti arkeologis, yaitu berupa uang logam emas Terengganu yang mencantumkan nama Sultan Zainal Abidin I dan keterangan tahunnya pada 1120 H (yang bersamaan dengan tahun 1708 M).
Ada dua versi sumber yang menyebutkan tentang pengangkatan Tun Zainal Abidin sebagai Sultan Terengganu dengan gelar Sultan Zainal Abidin I. Dalam kitab Tuhfat an-Nafis karya Raja Ali Haji, disebutkan bahwa pengangkatan tersebut dilakukan oleh Daeng Menampuk atau Raja Tua, yang mendapat perintah dari Sultan Sulaiman Badrul Alam Syah Johor. Dalam sumber lain, Hikayat Johor Serta Pahang, disebutkan bahwa pengangkatan tersebut dilakukan oleh Phra Nang Chau Yang, Raja Patani. Dalam hikayat ini juga disebutkan bahwa Tun Zainal Abidin datang ke Patani terkait dengan rencananya untuk membunuh Laksamana Johor, Paduka Raja Wan Abdul Rahman, pada tahun 1688 M. Ketika berada di Patani, Tun Zainal Abidin dijadikan anak angkat oleh Raja Phra Nang Chau Yang.
Sultan Zainal Abidin I yang lebih dikenal dengan sebutan “Bendahara Padang Saujana” meninggal pada tahun 1733 M. Ia dimakamkan di Bukit Keledang, Kuala Terengganu. Tahta kekuasaan kemudian dipegang oleh puteranya, Sultan Mansur I (1733-1793 M).
Ketika pertama kali diangkat sebagai penguasa (tahun 1733 M), usia Sultan Mansur I masih kanak-kanak, tepatnya berumur 7 tahun. Oleh karenanya, ia dikenal sebagai Raja Kecik (Raja Kecil). Pada tahun 1739 M, ia menikah dengan Raja Bulang, puteri Daeng Chelak (Yamtuan Muda Johor II). Ia kemudian juga menikah dengan Raja Bakul, putera Sultan Sulaiman Badrul Alam Shah. Dalam kurun waktu antara tahun 1746 hingga 1760 M, ia menghabiskan waktunya di Riau dalam urusan persaingan kepentingan antara orang-orang Melayu dengan Bugis.
Pada tahun 1760 M, ketika kembali ke Terengganu, ia membantu Long Yunus, putera Long Sulaiman Ibni Long Bahar (Yang Dipertuan Kelantan) dalam usaha meraih tahta kekuasaan Kesultanan Kelantan. Pada tahun 1776 M, Long Yunus diangkat sebagai Sultan Kelantan. Pada masa pemerintahan Sultan Mansur I, Kesultanan Terengganu pernah berhubungan dengan Syarikat Hindia Timur Inggris, Kerajaan Patani, Kerajaan Siam, dan Belanda. Ketika mangkat pada tahun 1793 M, ia diberi gelar Marhum Janggut. Tahta kekuasaan kemudian dipegang oleh putranya, Sultan Zainal Abidin II (1793-1808 M).
Ketika memimpin, Sultan Zainal Abidin II pernah terlibat dalam perselisihan antara salah seorang anggota keluarganya (kakaknya) dengan Kesultanan Kelantan. Kakaknya, Tengku Muhammad merupakan Yang Dipertuan Besar Kelantan dan sekaligus menantu dari Long Yunus, Raja Kelantan. Pelantikan Tengku Muhammad sebagai Yang Dipertuan Besar Kelantan pada tahun 1795 M ternyata tidak disenangi oleh putera-putera Long Yunus, yaitu Long Muhammad, Long Zainal, dan Long Tan. Hal ini berdampak pada perselisihan yang semakin akut hingga menyebabkan terjadinya perang antara Tengku Muhammad dengan putera-putera Long Yunus yang dipimpin oleh Long Muhammad.
Sultan Zainal Abidin II ikut membantu perjuangan Tengku Muhammad. Ketika itu, Tengku Muhammad juga mendapat bantuan dari Kerajaan Patani. Namun demikian, pasukan Terengganu-Patani dapat dikalahkan. Sebagai akibat dari kekalahan tersebut, Long Muhammad diangkat sebagai Sultan Kelantan dengan gelar Sultan Muhammad. Pada perkembangan selanjutnya, Kesultanan Kelantan makin berjaya, bahkan mampu menguasai Kesultanan Terengganu yang sebelumnya justru lebih kuat dan dominan.
Pada tahun 1808 M, Sultan Zainal Abidin II wafat. Ia diberi gelar Marhum Mata Merah. Tahta kekuasaan kemudian dipegang oleh Tengku Ahmad, putera Sultan Muhammad (dari Kesultanan Kelantan). Tengku Ahmad berkuasa antara tahun 1808-1830 M dengan gelar Sultan Ahmad Shah. Ketika ia memerintah terjadi jalinan hubungan kekeluargaan antara Terengganu dengan Lingga. Pada tahun 1821 M, Sultan Abdul Rahman Lingga datang ke Terengganu dengan maksud ingin menikahi adik Sultan Ahmad Shah.
Selanjutnya, terjadi juga perkawinan antara Tengku Besar Muhammad, putera Sultan Abdul Rahman dengan Tengku Teh (atau Tengku Kalthum), puteri Sultan Ahmad Shah. Sultan Abdul Rahman menetap di Terengganu selama dua tahun. Pada November 1822 M, ia telah berada di Lingga. Pada tanggal 4 Juli 1830, Sultan Ahmad Shah meninggal dunia. Ia kemudian diberi gelar Marhum Parit karena ketika masih hidup ia pernah membangun parit yang mengelilingi kota istana.
Meski Sultan Ahmad Shah memiliki dua orang putera, Tengku Daud dan Tengku Omar, namun pembesar Kesultanan Terengganu lebih memilih adiknya, Tengku Abdul Rahman sebagai Sultan Terengganu pada tahun 1830 M. Sultan Abdul Rahman tidak lama memerintah (hanya sekitar enam bulan) karena ia meninggal pada tahun 1831 M, dengan gelar Marhum Surau. Pembesar kesultanan kemudian memilih Tengku Daud bin Sultan Ahmad Shah sebagai Sultan Terengganu dengan gelar Sultan Daud.
Sultan Daud ternyata hanya memerintah selama satu bulan saja karena ia mangkat pada Februari 1831 M (16 Syaban 1246 H). Ia mendapat gelar Marhum Kampung Daik. Sepeninggalannya, suksesi kepemimpinan di Kesultanan Terengganu sempat bermasalah. Ada dua kubu yang berseteru: di satu sisi, ada pembesar kesultanan yang mendukung Tengku Mansur bin Sultan Zainal Abidin II; sementara di sisi lain, ada yang mendukung Tengku Omar bin Sultan Ahmad. Akhirnya, para pembesar kesultanan saling bermusyawarah dan memutuskan Tengku Mansur sebagai Yang Dipertuan Tua dan Tengku Omar sebagai Yang Dipertuan Besar.
Namun, ternyata perselisihan di antara kedua kubu tersebut masih berlanjut. Tengku Mansur melantik pembesarnya sendiri, Che Ku Omar dan Che Ku Ahmad sebagai menteri, sedangkan Tengku Omar juga melantik mertuanya, Tengku Ismail sebagai menteri. Pusat kekuasaan kedua kubu juga berbeda. Tengku Omar memusatkan kubunya di Bukit Puteri, sedangkan Tengku Mansur memusatkan kubunya di Balik Bukit.
Perselisihan dua kubu tersebut akhirnya berujung pada peperangan. Dalam peperangan ini, Tengku Omar dapat dikalahkan. Konsekuensinya, Tengku Mansur diangkat sebagai Sultan Terengganu dengan gelar Sultan Mansur II pada tahun 1831 M. Tengku Omar kemudian menghadap ke Sultan Muhammad Lingga untuk meminta bantuan. Sultan Muhammad Lingga kemudian mengirimkan utusannya ke Terengganu untuk mendamaikan Sultan Mansur II dengan Tengku Omar. Ternyata keinginan Sultan Muhammad Lingga tidak dapat diterima oleh Sultan Mansur II. Tengku Omar akhirnya memutuskan untuk mengikuti rombongan Sultan Muhammad kembali ke Lingga.
Pada tahun 1836 M, Sultan Mansur II meninggal dunia. Ia diberi gelar Marhum Mansur. Tahta kekuasaan kemudian dipegang oleh putranya, Tengku Muhammad. Ketika diangkat sebagai Sultan Terengganu, usia Sultan Muhammad masih sangat muda (15 tahun). Untuk membantu jalannya pemerintahan, Tengku Abdullah bin Sultan Abdul Rahman diangkat sebagai Raja Muda Terengganu. Pada masa pemerintahan Sultan Muhammad ini, terjadi lagi perebutan kepemimpinan. Hal itu ditandai dengan kembalinya Tengku Omar dari Lingga ke Terengganu.
Sesampainya di Terengganu, Tengku Omar singgah terlebih dahulu di Kemaman untuk mengumpulkan kekuatannya. Ia beserta rombongannya mulai bergerak masuk ke Kuala Terengganu. Hingga pada akhirnya terjadi suatu peperangan hebat antara kubu Tengku Omar dengan kubu pasukan Sultan Muhammad. Pasukan Sultan Muhammad dapat dikalahkan oleh pasukan Tengku Omar. Hal itu menyebabkan Sultan Muhammad harus mundur ke Seberang Takir, Dungun, dan Besut. Pasukan Tengku Omar terus melakukan penyerangan di Besut hingga mampu membunuh Che Ku Omar, seorang pembesar Sultan Muhammad. Pasukan Sultan Muhammad kemudian mundur lagi ke Kelantan.
Hal itu berarti bahwa Sultan Muhammad telah menyerahkan kekuasaannya. Tengku Omar kemudian memegang tampuk kekuasaan dengan gelar Baginda Omar atau Sultan Omar (1839-1876 M). Pada masa pemerintahannya, Kesultanan Terengganu pernah berkembangan sangat maju.
Pada tahun 1876 M, Sultan Omar mangkat. Ia diberi gelar Marhum Baginda. Karena tidak mempunyai putra, tahta kekuasaan kemudian dipegang oleh anak saudaranya, Tengku Ahmad bin Raja Muda Mahmud dengan gelar Sultan Ahmad Shah II. Ketika mangkat pada tahun 1881 M, Sultan Ahmad Shah II mendapat gelar Marhum Baharu. Tahka kekuasaan kemudian dipegang putranya, Sultan Zainal Abidin III (1881-1918 M).
Silsilah
Berikut ini adalah daftar sultan yang pernah berkuasa di Kesultanan Terengganu:
1. Sultan Zainal Abidin I (1708-1733 M)
2. Sultan Mansur I (1733-1793 M)
3. Sultan Zainal Abidin II (1793-1808 M)
4. Sultan Ahmad Shah (1808-1830 M)
5. Sultan Abdul Rahman (1830-1831 M-hanya enam bulan)
6. Sultan Daud (1831 M-hanya satu bulan)
Struktur Pemerintahan
Dalam struktur pemerintahan Kesultanan Terengganu, sultan merupakan penguasa tertinggi. Menurut Undang-undang Diri Kesultanan Negeri Terengganu (al-Itqan al-Muluk bi Ta‘dil al-Suluk) yang ditulis pada tanggal 2 November 1911 M, disebutkan bahwa Sultan Terengganu adalah Raja yang bertahta atau juga disebut Duli Yang Maha Mulia Yang Dipertuan Besar Sultan
Negeri Terengganu.
Secara keseluruhan, Undang-undang Diri Kesultanan Negeri Terengganu berperan sebagai panduan untuk sultan, pengganti sultan, menteri, dan pembesar kesultanan, baik dalam hal bertingkah-laku maupun dalam hal memerintah Kesultanan Terengganu.
Menurut Undang-undang di atas, sultan merupakan penguasa tertinggi dalam pemerintahan Terengganu dan pemilik Kesultanan Terengganu itu sendiri. Gelar sultan adalah Yang Dipertuan Besar Sultan Terengganu. Dalam Undang-undang tersebut disebutkan bahwa syarat-syarat seseorang menjadi sultan adalah sebagai berikut: “Maka hendaklah sultan yang memerintah Kesultanan Terengganu adalah beragama Islam, bangsa Melayu, berasal dari keturunan sultan-sultan yang memerintah Kesultanan Terengganu, dan laki-laki, sebagaimana tertera dalam pasal tiga, empat, dan lima”.
Mohon informasi, : Nenek Kami bernama Syarifah Aminah binti Sayyid Abdullah Alidrus disebutkan berasal dari Trengganu. Pada sekitar abad ke 17 beliau sempat hidup di perantauan di negeri Banjar Borneo Selatan. Disebutkan saat itu sedang ada masalah di Trengganu, tidak diketahui apa masalahnya. Beliau kemudian dinikahi oleh leluhur Kami, Sayyid Abubakar bin Habib Husein Al Qadri, di Sabamban Banjar Borneo Selatan. Nenek Syarifah Aminah binti Abdullah Alidrus ini, makam nya ditemukan di Desa Segeram Natuna bersama 4 putranya. Apakah ada catatan tentang Beliau ini di Trengganu?
ReplyDeleteSila hubung balik ke nomor Whats App : +62 812 958 212 17 @Syarif Tue Tsani
ReplyDeletehttps://panglimalaksamana.blogspot.com/2021/04/habib-husein-tuan-besar-mempawah-dan_10.html, === II. Inche Aminah / Syarifah Aminah binti Sayyid Abdullah Alidroos ,( Makm beliau ditemukan di Desa Segeram, Pulau Bunguran Besar, bagian Barat, Natuna sekarang ) - Wanita yang berasal dari Trengganu, yang saat itu berada di Kalsel pada 1772 M, dinikahi dan dikaruniai 6 anak :
ReplyDeleteII.1. Sayyid Ibrahim, bin Abubakar lahir 1773, Wafat 1857, Makam Kpg. Segeram, Natuna
II.2. Sayyid Yusuf , bin Abubakar lahir 1776 , Wafat 1867, Makam Natuna
II.3. Sayyid Jamalullail, bin Abubakar lahir 1778 , Wafat 1869, Makam Kpg.Segeram, Natuna
II.4. Sayyid ALI Pertama bin Abubakar : ( makam TPU Sungai Bambu, Tanjung Priok )
II.5. Sayyid Abdurrahman, bin Abubakar lahir 1781 , Wafat 1872, Makam Kpg. Segeram, Natuna
II.6. Sayyid Maulana Malik bin Abubakar lahir 1783, Wafat 1871, Makam Mbah Priok Batavia
email : habibi.alqadrie@gmail.com
ReplyDelete