Prof. Dr. Nik Anuar: “Ada Kuasa Besar Halangi Terbentuknya Melayu Raya”
Hubungan Indonesia dengan Malaysia mengalami pasang surut. Suatu kali tampak mesra, kali lain mengalami ketegangan. Bahkan kedua negara yang sebenarnya serumpun ini pernah bertempur di medan laga.
Beberapa waktu lalu, nyaris saja dua negara ini perang lagi gara-gara masalah perbatasan. Padahal, keduanya berpotensi besar menuju kejayaan Islam. Sebab, kedua negara ini mayoritas pendudukannya beragama Islam. Bahkan di Malaysia Islam dinyatakan sebagai agama resmi negara satu-satunya.
Terhadap pasang surutnya hubungan Indonesia dan Malaysia itu, pakar Melayu Prof. Dr. Dato’ Nik Anuar Nik Mahmud dari Institut Alam dan Tamadun Melayu, Universiti Kebangsaan Malaysia (UKM) melihatnya ada peran asing. Benarkah?
Berikut ini wawancara koresponden hidayatullah.com di Malaysia, Nuim Hidayat, dengan pakar masalah Asia dan penulis beberapa buku Melayu lulusan University of Hull, Inggris itu.
Bagaimana Anda melihat hubungan Malaysia Indonesia ini dari perspektif sejarah?
Kalau kita baca buku-buku sejarah, khususnya buku-buku sejarah Melayu yang ditulis sebelum perang dunia ke-2, seperti Sejarah Melayu yang ditulis oleh Abdul Hadi dan Munir Adil, maka wilayah Semenanjung dan Indonesia dianggap sebagai alam Melayu Raya. Mereka menamakan tanah Melayu; Sumatera, Jawa, Sulawesi, Kalimantan, Sumatera, Johor, Kelantan, Pattani, dan lainnya sebagai alam Melayu, atau di Indonesia dikenal istilah Nusantara. Yaitu wilayah Semenanjung tanah Melayu dan gugusan tanah Melayu.
Sejarah ini diajarkan kepada pelajar-pelajar Melayu sebelum Perang Dunia (PD)-II. Sebelum PD-II ada semangat untuk memulai kembali bersatunya Melayu. Di Indonesia juga ada usaha seperti ini. Mereka ingin alam Melayu ini disatukan atas nama “Indonesia Raya”. Intinya, ada hasrat untuk bersatu.
Bagaimana kelanjutannya?
Rencana itu tidak berhasil karena dihalangi oleh kuasa-kuasa besar. Mereka tidak mau melihat bangsa Melayu mempunyai satu negara. Mereka hanya ingin melihat perpecahan. Kalau bangsa Melayu di bawah satu negara, maka akan jaya. Bangsa Melayau berpotensi besar, baik dari segi jumlah penduduknya yang besar maupun hasil buminya.
Akibat halangan kuasa-kuasa besar itu, usaha mewujudkan “Melayu Raya” akhirnya gagal. Malaysia dengan Malaysia-nya, Indonesia tetap dengan Indonesia-nya. Meski demikian, pasca tahun 1963, pemimpin-pemimpin Melayu berusaha tetap ada jalinan kerjasama yang erat.
Tahun 1958-1959, Tun Razak, Perdana Menteri (PM) Malaysia, melakukan lawatan ke Jakarta dan Perdana Menteri (PM) Juanda melawat ke Kuala Lumpur. Mereka melakukan perjanjian kerjasama, kebudayaan dan bahasa. Walaupun berbeda negara, atas nama satu rumpun pemimpin Indonesia ingin kerjasama.
Bagaimana kemudian hubungan Indonesia Malaysia tahun 60-an itu?
Tokoh-tokoh Indonesia Malaysia sebenarnya mau mengukuhkan hubungan perjanjian persahabatan. Tahun 1961, hubungan Malaysia Indonesia lebih dingin berkaitan dengan rencana PM Malaysia untuk membentuk Malaysia. Dia mengumumkan bahwa dia akan membebaskan Sabah, Serawak, Brunei, Singapura dari penjajahan Inggris dan menyatukan negeri ini dengan tanah Melayu. Pengumuman itu disalahartikan oleh Presiden Soekarno. Ia menganggap rencana itu bertujuan melemahkan atau melumpuhkan Indonesia.
Gagasan itu ditentang Indonesia. Bila saya kaji, tidak ada satu kalimat pun yang menyatakan bahwa tujuan Malaysia untuk melemahkan Indonesia. Tujuan Malaysia adalah memerdekakan sisa-sisa penjajahan Inggris di Asia Tengah. Bukan bertujuan untuk mengepung Indonesia. Atau bermufakat dengan Barat memecah wilayah Indonesia. Saya kira ini lebih karena salah paham.
Tapi mengapa Presiden Soekarno bereaksi seperti itu?
Saya tak boleh menyalahkan Presiden Soekarno. Waktu ada pergolakan PRRI di Sumatera, ada pemimpin PRRI yang lari ke Melayu. Mereka memohon suaka politik. Malaysia mengizinkan, tapi dengan syarat jangan menjadikan tanah Melayu sebagai bekal untuk menentang Indonesia. Jadi itulah mengapa kemudian Malaysia memberikan perlindungan kepada Des Alwi, Dr Sutino, dan lain-lain.
Tapi Soekarno justru salah paham dan mencurigai Melayu. Tahun 1963-1966 terjadi konfrontasi Indonesia-Malaysia.
Bagaimana hubungan RI-Malaysia di saat Soeharto?
Soeharto mengambil alih tahun 1966, hubungan Malaysia-Indonesia menjadi pulih. Setelah itu, hubungan Indo-Malay zaman Tun Razak-Soeharto cukup bagus, cukup erat. Kalau konfrontasi diteruskan, maka yang mendapat manfaat ketika itu pasti Partai Komunis Indonesia (PKI). Salah satu syarat yang diberikan Indonesia untuk Malaysia adalah dengan mengadakan pemungutan masalah Sabah dan Serawak. Malaysia setuju. Pemungutan suara diadakan lewat Pemilu tahun 1967. Hasilnya partai pro-Malaysia menang dan Sabah-Serawak memilih untuk bergabung dengan Malaysia. Tapi Indonesia kala itu melihat bahwa Sabah-Serawak dipaksa masuk ke Malaysia, untuk “melumpuhkan” Indonesia.
Jika begitu, bagaimana sebenarnya pandangan Malaysia kepada Indonesia?
Tun Razak menganggap Indonesia sebagai abangnya. Tapi yang berlaku hari ini, sejarah ini banyak dilupakan, baik oleh generasi di Indonesia maupun di Malaysia. Lupa bahwa Malaysia-Indonesia adalah alam Melayu yang satu rumpun. Melayu Johor, Melayu Jawa, Kalimanatan, satu rumpun. Susahnya, sejarah ini tidak diajarkan kepada generasi baru, baik di Malaysia maupun di Indonesia. Akibatnya, generasi baru di Indonesia dan Malaysia menganggap bahwa kita berbeda. Tapi pada generasi kami, menganggap bahwa hubungan dengan Indonesia adalah kakak-adik saja.
Jadi harus bagaimana menyikapi sejarah ini?
Sebaiknya, kita harus memasukkan unsur sejarah ini dalam pelajaran di sekolah, baik di Indonesia maupun Malaysia. Bahwa kita ini aslinya satu rumpun. Kita menjadi berpisah karena penjajahan. Di Institut Alam dan Tamadun Melayu, kita ingin membangkitkan semangat satu rumpun Melayu ini.
Kalau mau jujur, semua suku di Indonesia ada di Malaysia: Jawa, Bugis, Aceh, Minang. Aslinya penduduk semenanjung itu sebenarnya Kelantan, Trengganu, dan Kedah. Kini banyak orang Jawa di Johor, Selangor juga Jawa, Aceh pun banyak di sini. Negeri sembilan sebagian penduduknya dari Minangkabau. Sultan Selangor itu dari Bugis. Jadi sepatutnya kita dengan semangat satu rumpun bekerjasama untuk bangunkan alam Melayu ini. Tapi kalau masing-masing berpecah karena ashabiyah, kita akan terus menjadi mainan kuasa-kuasa besar yang tidak mau melihat bangsa Melayu tumbuh menjadi bangsa yang besar. Kita mesti tanamkan kembali sejarah. Dari segi agama, bahasa, Melayu sama.
Bagaimana bisa meyakinkan bahwa ada usaha asing untuk memecah Melayu ini?
Dalam memoar buku Thomas Raffles disebutkan, Barat harus memastikan bahwa alam Melayu ini lemah. Untuk melemahkan dia usul dua strategi: Pertama, imigran-imigran asing masuk ke Melayu supaya kawasan ini tidak menjadi kawasan Melayu, melainkan majemuk (dibawa orang-orang China dan India).
Kedua, pastikan bahwa raja-raja Melayu: Semenanjung, Sumatera, Jawa dan sebagainya, tidak mengambil para ulama Arab menjadi penasehat mereka. Jadi, tujuannya untuk memisahkan Arab dengan Melayu.
Harus diingat bersama, sebelum ini hubungan antara kerajaan Islam di Melayu dengan Daulah Utsmaniyah cukup erat. Sebab, penasehat raja-raja Melayu adalah ulama dari Timur Tengah. Maka, itu oleh Raffles diganti dengan penasehat dari Belanda atau Inggris.
Yang penting sekarang, Indonesia-Malaysia harus terus bekerjasama, dan harus terus ditingkatkan. [nuim/www.hidayatullah.com] Ilustrasi: John Gillmoure/CORBIS
Dari: HIDAYATULLAH.COM - Wednesday, 06 January 2010 12:13
Semangat dan wacana ini seharusnya menjadi motor utama setiap kegiatan Idonesia - Malaysia, hingga tidak ada lagi perseteruan diberbagai bidang, terlebih dibeberapa situs yang sangat tidak berbudaya dimana para bloger saling mencaci maki.
ReplyDeleteRedifinisi dan revitalisasi Melayu sudah sering di seminarkan, tetapi langkah selajutnya yaitu mensosialisasikan harus lebih sering dan berkelanjutan lagi, terima kasih telah mem-publish artikel ini, tahniah.
Tengku Ryo Riezqan
Saya pernah berpikir seperti ini bahwa ada suatu kekuatan yang selalu melemahkan bangsa Melayu dan Islam di Asia ini, seperti apa kekuatan yang melemahkan ini?
ReplyDeleteMungkin dapat diadakan suatu diskusi para "ahli-ahli" Indonesia-Malaysia melakukan diskusi bahkan pembentukan organisasi yang bertujuan keberhasilan bersama demi kejayaan bangsa Melayu
stop perpecahan !
Saatnya bangkit dari kebodohan!
Saya bersetuju.
ReplyDeleteAdakah yang bersedia memulakan gagasan ini?
Mari sama-sama kita usahakan.
Salam.
harus ada yg memulai untuk menyatukan ini, paling tidak wilayah2 kedua negara yg bersepadanan... johor dg kepulauan riau... jangan hanya acara ceremonial saja... bagai mana mengembalikan kejayaan emporium melayu dan islam.......... salam.
ReplyDeleteGlobalisasi sudah pun lama menggelinding.
ReplyDeleteJika mau maju, jangan pakai persneling mundur.
Heheheheheheh
wajarnya kita perlu memilih pemimpin yang inginkan kesejahteraan dan kesepaduan serta kejayaan untuk bangsa melayu dan agamanya bukan peribadi yang diutama. tanah melayu itu adalah malaysia dan indonesia.
ReplyDeleteKita harus Bersatu untuk menghadapi Kebangkitan Naga Raksasa yang kini secara De Facto sudah menjadi Negara Adi Kuasa Baru yaitu RRC yang berpenduduk +1200.000.000 Orang. Pada dasarnya penduduk asli ASEAN yang terbanyak adalah Bangsa-Bangsa Austronesia/Melayu-Polynesia,karena itulah kita harus mendukung Bahasa ASEAN adalah Bahasa Melayu.
ReplyDeleteMoyang sebelah bapa berasal dari Batubara ..Nakhoda Mohd.Zain..manakala moyang sebelah ibu berasal dari Patani...Tok Guru yang pernah mengajar agama kepada seorang Sultan Perak di Tanah Melayu..apa yang nak saya tekankan disini..macam itulah dia keturunan orang2 Melayu di Nusantara ini, saling bersaudara.
ReplyDeleterancangan Barat dan Sihir mereka masih berjalan terus . Tetapi obat=nya ada-lah SEJARAH. Kalau generasi sekarang dan pemerintah mengambil berat tentang sejarah dan mewajibkan di semua sekolah, itu-lah sebaik-nya. Kalau tidak,masa depan akan menjadi lebih BUROK
ReplyDeletekempen-kan persaudaraan Malindo berdasar sejarah oleh para budayawan kedua pihak...para pemimpin & media supaya mulakan komen-komen, pengajaran yang mempersatukan keduanya...saya ni dari Indonesia cakap Melayu pun boleh
ReplyDeletebullsheet semua itu , orang Sumatera tetap orang Sumatera , orang melayu tetap orang Melayu , semua orang sama derajatnya sama bahasanya sementara bahsa Jawa ada bahasa ningrat ( kaum raja ) dan ada bahsa orang biasa sebab itu bahsa Jawa tak bisa jadi bahasa perdagangan . Di Indonesiapun selalu orang Barat / asing itu dicurigai pembawa kehancuran tapi buktinya apa ? Ada bencana siapa menolong ? Orang Barat . Pendidikan , perlidungan hewan dan tanaman siapa menolong? Orang Barat . Kalau memang orang Jawa merasa ada persaudaran serumpun mengapa orang berbahsa ibu di Jawa dilarang ? Semua orang luar yang datang ke tanah Jawa musti lupa bahsa ibu tapi di Sumatera semua orang masih dapat berbahasa ibu . memang kita tidak serumpun dengan orang Jawa, adat dab bahasnya berbeda .Bulan lalu, ada gunung meletus di Berastagi sudah lama tak ada bantuan negara, ada gunung meletus di Jawa sehari saja sudah ada bantuan negara , akhrinya orang Amerika memberi bantuan juga ke Berastagi , Sumatera .
ReplyDeletelihat dalam sejarah siapa kawan yang baik , siapa kawan yang buruk , kawan yang baik itu adalah yg di rumahnya/negerinya sendiri hak manusia sama ( laki perempuan kaya , miskin, Islam, Budha ) , bangsa-bangsa di Arab baru lagi memulai demokrasi . Orang Barat . Kawan yang baikpun sayang pada binantang dan alam . Orang Barat tentunya . Siapa penebang hutan ? Pembakar hutan , pengurung binantang disangkar sempit ? http://id.berita.yahoo.com/kebun-binatang-surabaya-terkejam-di-dunia-051040510.html , jangan dikawani , dihukum Tuhan sekalian perusak ciptaan Tuhan di dunia dan akhirat , diberinya ampun orang-orang bodoh itu .
ReplyDelete