Sejarah Yang Disembunyikan
Aceh, Nusantara, Dan Daulah Khilafah Islamiyah
Indonesia, yang dulu dikenal dengan istilah Nusantara, merupakan negeri Muslim terbesar di dunia Islam. Jauh sebelum merdeka dari penjajahan fisik (militer) dan menjadi sebuah negara Indonesia, di wilayah Nusantara telah berdiri pusat-pusat kekuasaan Islam yang berbentuk kesultanan. Mulai dari kesultanan Aceh yang terletak di ujung barat, hingga kesultanan Ternate di ujung timur.
Berbagai catatan sejarah membuktikan bahwa kesultanan-kesultanan Islam tersebut tidaklah berdiri sendiri, melainkan memiliki hubungan sangat erat dengan Kekhilafahan Islam, khususnya Khilafah Utsmaniyah yang berpusat di Turki. Tulisan ini akan mengulas secara ringkas beberapa bukti sejarah yang menggambarkan hubungan kesatuan antara kesultanan-kesultanan Islam di wilayah Nusantara dengan Khilafah Islamiyah.
Pengakuan Nusantara terhadap Khilafah Islamiyah
Pengaruh keberadaan khalifahterhadap kehidupan politik Nusantara sudah terasa sejak masa-masa awal berdirinya kekhilafahan (baca: Daulah Islamiyah). Keberhasilan umat Islam melakukan futuhat terhadap Kerajaan Persia dan menduduki sebagian besar wilayah Romawi Timur, seperti Mesir, Siria, dan Palestina, di bawah kepemimpinan Umar bin al-Khaththab telah menempatkan Daulah Islamiyah sebagai superpower dunia sejak abad ke-7 M. Ketika kekhilafahan berada di tangan Bani Umayyah (660-749 M), penguasa di Nusantara -yang masih beragama Hindu sekalipun– mengakui kebesaran khilafah.
Pengakuan terhadap kebesaran khalifah dibuktikan dengan adanya dua pucuk surat yang dikirimkan oleh Maharaja Sriwijaya kepada khalifah masa Bani Umayyah. Surat pertama dikirim kepada Muawiyyah, dan surat kedua dikirim kepada Umar bin Abdul Aziz. [1] Surat pertama ditemukan dalam sebuah diwan (arsip, pen.) Bani Umayyah oleh Abdul Malik bin Umayr yang disampaikan kepada Abu Ya’yub Ats-Tsaqofi, yang kemudian disampaikan kepada Al-Haytsam bin Adi. Al-Jahizh yang mendengar surat itu dari Al-Haytsam menceriterakan pendahuluan surat itu sebagai berikut:
“Dari Raja Al-Hind yang kandang binatangnya berisikan seribu gajah, (dan) yang istananya terbuat dari emas dan perak, yang dilayani putri raja-raja, dan yang memiliki dua sungai besar yang mengairi pohon gaharu, kepada Muawiyah….” [2]
Surat kedua didokumentasikan oleh Abd Rabbih (246-329 H/860-940 M) dalam karyanya Al-Iqd Al-Farid. Potongan surat tersebut sebagai berikut:
“Dari Raja di Raja…; yang adalah keturunan seribu raja … kepada Raja Arab (Umar bin Abdul Aziz) yang tidak menyekutukan tuhan-tuhan lain dengan Tuhan. Saya telah mengirimkan kepada Anda hadiah, yang sebenarnya merupakan hadiah yang tak begitu banyak, tetapi sekedar tanda persahabatan; dan saya ingin Anda mengirimkan kepada saya seseorang yang dapat mengajarkan Islam kepada saya, dan menjelaskan kepada saya hukum-hukumnya.” [3]
Selain itu, Farooqi menemukan sebuah arsip Utsmani yang berisi sebuah petisi dari Sultan Ala Al-Din Riayat Syah kepada Sultan Sulayman Al-Qanuni yang dibawa Huseyn Effendi. Dalam surat ini, Aceh mengakui penguasa Utsmani sebagai khalifah Islam. Selain itu, surat ini juga berisi laporan tentang aktivitas militer Portugis yang menimbulkan masalah besar terhadap para pedagang muslim dan jamaah haji dalam perjalanan ke Makkah. Karena itu, bantuan Utsmani sangat mendesak untuk menyelamatkan kaum Muslim yang terus dibantai Farangi (Portugis) kafir. [4]
Sulayman Al-Qanuni wafat tahun 974 H/1566 M. Akan tetapi petisi Aceh mendapat dukungan Sultan Selim II (974-982 H/1566-1574 M), yang mengeluarkan perintah kesultanan untuk melakukan ekspedisi besar militer ke Aceh. Sekitar September 975 H/1567 M, Laksamana Turki di Suez, Kurtoglu Hizir Reis, diperintahkan berlayar menuju Aceh dengan sejumlah ahli senapan api, tentara, dan artileri. Pasukan ini diperintahkan berada di Aceh selama masih dibutuhkan oleh Sultan. [5] Namun dalam perjalanan, armada besar ini hanya sebagian yang sampai ke Aceh karena dialihkan untuk memadamkan pemberontakan di Yaman yang berakhir tahun 979 H/1571 M. [6] Menurut catatan sejarah, pasukan Turki yang tiba di Aceh pada tahun 1566-1577 M sebanyak 500 orang, termasuk ahli-ahli senjata api, penembak, dan ahli-ahli teknik. Dengan bantuan ini, Aceh menyerang Portugis di Malaka pada tahun 1568 M. [7]
Kehadiran Kurtoglu Hizir Reis bersama armada dan tentaranya disambut dengan suka cita oleh umat Islam Aceh. Mereka disambut dengan upacara besar. Kurtoglu Hizir Reis kemudian diberi gelar sebagai gubernur (wali) Aceh, [8] yang merupakan utusan resmi khalifah yang ditempatkan di daerah tersebut. Hal ini menunjukkan bahwa hubungan Nusantara dengan Khilafah Utsmaniyah bukanlah sebatas hubungan persaudaraan melainkan hubungan politik kenegaraan. Adanya wali Turki di Aceh lebih mengisyaratkan bahwa Aceh merupakan bagian tak terpisahkan dari Khilafah Islamiyah.
Di sisi lain, banyak institusi politik melayu di Nusantara mendapatkan gelar sultan dari penguasa-penguasa tertentu di Timur tengah. Pada tahun 1048H/1638 M, Penguasa Banten, Abd al-Qodir (berkuasa 1037-1063H/1626-1651) dianugerahi gelar sultan oleh Syarif Makkah sebagai hasil dari misi khusus yang dikirimnya untuk tujuan itu ke Tanah Suci. Sementara itu, kesultanan Aceh terkenal mempunyai hubungan erat dengan penguasa Turki Ustmani dan Haramayn. Begitu juga Palembang dan Makasar yang turut menjalin hubungan khusus dengan penguasa Makkah. [9] Pada saat itu, para penguasa Makkah merupakan bagian tak terpisahkan dari Khilafah Utsmaniyah yang berpusat di Turki.
Dilihat dari penggunaan istilah, kesultanan Islam di Nusantara mengasosiasikan dirinya tak terpisahkan dari kekhalifahan. Beberapa kitab Jawi klasik menyebut hal ini. Hikayat Raja-raja Pasai (hal. 58, 61-62, 64), misalnya, menyebut nama resmi kesultanan Samudea Pasai sebagai “Samudera Dar al-Islam”. Istilah Dar al-Islam juga digunakan kitab Undang-undang Pahang untuk menyebut kesultanan Pahang. Adapun Nur al-Din al-Raniri, dalam Bustan al-Salatin (misalnya, pada hlm. 31, 32, 47), menyebut kesultanan Aceh sebagai Dar al-Salam. Istilah ini juga digunakan di Pattani ketika penguasa setempat, Paya Tu Naqpa, masuk Islam dan mengambil nama Sultan Ismail Shah Zill Allah fi-Alam yang bertahta di negeri Pattani Dar al-Salam (Hikayat Patani, 1970:75).
Dalam ilmu politik Islam klasik, dunia ini terbagi dua, yaitu Dar al-Islam dan Dar al-Harb. Dar al-Islam merupakan daerah yang diterapkan hukum Islam dan keamanannya ada pada tangan kaum Muslim. Sedangkan Dar al-Harb adalah lawan kata dari Dar al-Islam. Penggunaan istilah “Dar al-Islam” atau “Dar al-Salam” menunjukkan bahwa para penguasa Melayu Nusantara menerima konsepsi geopolitik Islam tentang pembagian dua wilayah dunia itu. Konsep geopolitik ini semakin mengkristal ketika bangsa-bangsa Eropa —dimulai oleh “bangsa Peringgi” (Portugis) yang kemudian disusul bangsa-bangsa Eropa lainnya, khususnya Belanda dan Inggris— mulai merajalela di kawasan Lautan India dan Selat Malaka (Sulalat al-Salatin, 1979:244-246). Mereka melakukan penjajahan fisik dan menyebarkan agama Kristen melalui missi dan zending.
Khilafah Turki Utsmani, seperti disebutkan oleh Hurgronje (1994, halaman 1631), [10] bersifat pro-aktif dalam memberikan perhatian kepada penderitaan kaum Muslim di Indonesia dengan cara membuka perwakilan pemerintahannya (konsulat) di Batavia pada akhir abad ke-19. Kepada kaum Muslim yang ada di Batavia para konsul Turki berjanji akan memperjuangkan emansipasi hak-hak orang-orang Arab sederajat dengan orang-orang Eropa. Selain itu, Turki juga akan mengusahakan agar seluruh kaum Muslim di Hindia Belanda terbebas dari penindasan Belanda.
Lebih dari semua itu, Aceh banyak didatangi para ulama dari berbagai belahan dunia Islam lainnya. Syarif Makkah mengirimkan utusannya ke Aceh seorang ulama bernama Syekh Abdullah Kan’an sebagai guru dan muballigh. Sekitar tahun 1582, datang dua orang ulama besar dari negeri Arab, yakni Syekh Abdul Khayr dan Syekh Muhammad Yamani. Di samping itu, di Aceh sendiri lahir sejumlah ulama besar, seperti Syamsuddin Al-Sumatrani dan Abdul Rauf al-Singkeli. [11]
Abdul Rauf Singkel mendapat tawaran dari Sultan Aceh, Safiyat al-Din Shah untuk menduduki jabatan Kadi dengan sebutan Qadi al-Malik al-Adil yang sudah lowong beberapa lama karena Nur al-Din Al-Raniri kembali ke Ranir (Gujarat). Setelah melakukan berbagai pertimbangan, Abdul Rauf menerima tawaran tersebut. [12] Karena itu, ia resmi menjadi qadi dengan sebutan Qadi al-Malik al-Adil. Selanjutnya sebagai seorang Qadi, Abd Rauf diminta Sultan untuk menulis sebuah kitab sebagai patokan (qaanun) penerapan syariat Islam. [13] Buku tersebut kemudian diberi judul Mir’at al-Tullab.
Berbagai kenyataan sejarah tadi lebih menegaskan adanya pengakuan dan hubungan erat antara Aceh dan Nusantara dengan Khilafah Utsmaniyah. Bahkan, bukan sebatas hubungan persaudaraan atau pertemanan melainkan hubungan ‘kesatuan’ sebagai bagian tak terpisahkan dari Khilafah Utsmaniyah (Dar al-Islam).
Penjaga Perjalanan Haji Nusantara
Keberadaan Turki Utsmani sebagai khilafah Islam, terutama setelah berhasil melakukan futuhat atas Konstantinopel, ibu kota Romawi Timur, pada 857 H/1453 M, menyebabkan nama Turki melekat di hati umat Islam Nusantara. Nama yang terkenal bagi Turki di Nusantara ialah “Sultan Rum.” [14] Istilah “Rum” tersebar untuk menyebut Kesultanan Turki Utsmani. Mulai masa ini, supremasi politik dan kultural Rum (Turki Utsmani) menyebar ke berbagai wilayah Dunia Muslim, termasuk ke Nusantara. [15]
Kekuatan politik dan militer Khilafah Utsmaniyah mulai terasa di kawasan lautan India pada awal abad ke-16. Sebagai khalifah kaum Muslim, Turki Utsmani memiliki posisi sebagai khadimul haramayn (penjaga dua tanah haram, yakni Makkah dan Madinah). Pada posisi ini, para Sultan Utsmani mengambil langkah-langkah khusus untuk menjamin keamanan bagi perjalanan haji. Seluruh rute haji di wilayah kekuasaan Utsmani ditempatkan di bawah kontrolnya. Kafilah haji dengan sendirinya dapat langsung menuju Makkah tanpa hambatan berarti atau rasa takut menghadapi gangguan Portugis. Pada 954 H/1538 M, Sultan Sulayman I (berkuasa 928 H/1520-1566 M) mengirim armada yang tangguh di bawah komando Gubernur Mesir, Khadim Sulayman Pasya, untuk membebaskan semua pelabuan yang dikuasai Portugis guna mengamankan pelayaran haji ke Jeddah. [16]
Turki Utsmani juga mengamankan rute haji dari wilayah sebelah Barat Sumatera dengan menempatkan angkatan lautnya di Samudra Hindia. Kehadiran angkataan laut Utsmani di Lautan Hindia setelah 904 H/1498 M tidak hanya mengamankan perjalanan haji bagi umat Islam Nusantara, tetapi juga mengakibatkan semakin besarnya saham Turki dalam perdagangan di kawasan ini. Pada gilirannya, hal ini memberikan kontribusi penting bagi pertumbuhan kegiatan ekonomi sebagai dampak sampingan perjalanan ibadah haji. Pada saat yang sama Portugis juga meningkatkan kehadiran armadanya di Lautan India, tapi angkatan laut Utsmani mampu menegakkan supremasinya di kawasan Teluk Persia, Laut Merah, dan Lautan India sepanjang abad ke-16. [17]
Dalam kaitan dengan pengamanan rute haji, Selman Reis (w 936/1528), laksanama Turki di Laut Merah, terus memantau gerak maju pasukan Portugis di Lautan Hindia, dan melaporkannya ke pusat pemerintahan di Istanbul. Salah satu bunyi laporan yang dikutip Obazan ialah sebagai berikut:
“(Portugis) juga menguasai pelabuhan (Pasai) di pulau besar yang disebut Syamatirah (Sumatera)… Dikatakan, mereka mempunyai 200 orang kafir di sana (Pasai). Dengan 200 orang kafir, mereka juga menguasai pelabuan Malaka yang berhadapan dengan Sumatera…. Karena itu, ketika kapal-kapal kita sudah siap dan, insyaallah, bergerak melawan mereka, maka kehancuran total mereka tidak terelakkan lagi, karena satu benteng tidak bisa menyokong yang lain, dan mereka tidak dapat membentuk perlawanan yang bersatu.” [18]
Laporan ini memang cukup beralasan, karena pada tahun 941 H/1534 M, sebuah skuadron Portugis yang dikomandoi Diego da Silveira menghadang sejumlah kapal asal Gujarat dan Aceh di lepas Selat Bab el-Mandeb pada Mulut Laut Merah.
Bentuk-bentuk Hubungan
Portugis terus meluaskan pengaruhnya bukan hanya ke Timur Tengah melainkan juga ke Samudera India. Raja Portugis Emanuel I terang-terangan menyampaikan tujuan utama ekspedisi tersebut dengan mengatakan, “Sesungguhnya tujuan dari pencarian jalan laut ke India adalah untuk menyebarkan agama Kristen, dan merampas kekayaan orang-orang Timur.” [19] Khilafah Utsmaniyah pun tidak tinggal diam. Pada tahun 925H/1519 M, Portugis di Malaka digemparkan oleh kabar tentang pelepasan armada ‘Utsmani’ untuk membebaskan Muslim Malaka dari penjajahan kafir. Kabar ini tentu saja sangat menggembirakan kaum Muslim setempat. [20]
Ketika Sultan Ala Al-Din Riayat Syah Al-Qahhar naik tahta di Aceh pada tahun 943 H/1537 M, ia kelihatan menyadari kebutuhan Aceh untuk meminta bantuan militer kepada Turki. Bukan hanya untuk mengusir Portugis di Malaka, tetapi juga untuk melakukan futuhat ke wilayah-wilayah yang lain, khususnya daerah pedalaman Sumatera, seperti daerah Batak. Al-Kahar menggunakan pasukan Turki, Arab dan Abesinia. [21] Pasukan Turki sebanyak 160 orang ditambah 200 orang tentara dari Malabar, mereka membentuk kelompok elit angkatan bersenjata Aceh. Selanjutnya dikerahkan Al-Kahhar untuk menaklukkan wilayah Batak di pedalaman Sumatera pada tahun 946 H/1539 M. Mendez Pinto, yang mengamati perang antara pasukan Aceh dengan Batak, melaporkan kembalinya armada Aceh di bawah komando seorang Turki bernama Hamid Khan, keponakan Pasya Utsmani di Kairo. [22]
Seorang sejarawan Universitas Kebangsaan Malaysia, Lukman Thaib, mengakui adanya bantuan Turki Utsmani untuk melakukan futuhat terhadap wilayah sekitar Aceh. Menurut Thaib, hal ini merupakan ekspresi solidaritas umat Islam yang memungkinkan bagi Turki melakukan serangan langsung terhadap wilayah sekitar Aceh. [23] Bahkan, Turki Utsmani membangun akademi militer di Aceh bernama ‘Askeri Beytul Mukaddes’ yang diubah menjadi ‘Askar Baitul Makdis’ yang lebih sesuai dengan dialek Aceh. Pendidikan militer ini merupakan pusat yang melahirkan para pahlawan dalam sejarah Aceh dan Indonesia. [24] Demikianlah, hubungan Aceh dengan Turki sangat dekat. Aceh seakan-akan merupakan bagian dari wilayah Turki. Persoalan umat Islam Aceh dianggap Turki sebagai persoalan dalam negeri yang harus segera diselesaikan.
Nur Al-Din Al-Raniri dalam Bustan Al-Salathin meriwayatkan, Sultan Ala Al-Din Riayat Syah Al-Qahhar mengirim utusan ke Istanbul untuk menghadap “Sultan Rum.” Utusan ini bernama Huseyn Effendi yang fasih berbahasa Arab. Ia datang ke Turki setelah menunaikan ibadah haji. [25] Pada Juni 1562 M, utusan Aceh tersebut tiba di Istanbul untuk meminta bantuan militer Utsmani guna menghadapi Portugis. Ketika duta itu berhasil lolos dari serangan Portugis dan sampai di Istanbul, ia berhasil mendapat bantuan Turki, yang menolong Aceh membangkitkan kebesaran militernya sehingga memadai untuk menaklukkan Aru dan Johor pada 973 H/1564 M. [26]
Hubungan Aceh dengan Turki Utsmani terus berlanjut, terutama untuk menjaga keamanan Aceh dari serangan Portugis. Menurut seorang penulis Aceh, pengganti Al-Qahhar Kedua yakni Sultan Mansyur Syah (985-998 H/1577-1588 M) memperbaharui hubungan politik dan militer dengan Utsmani. [27] Hal ini dibenarkan sumber-sumber historis Portugis. Uskup Jorge de Lemos, sekretaris Raja Muda Portugis di Goa, pada tahun 993 H/1585 M, melaporkan kepada Lisbon bahwa Aceh telah kembali berhubungan dengan Khalifah Utsmani untuk mendapatkan bantuan militer guna melancarkan offensif baru terhadap Portugis. Penguasa Aceh berikutnya, Sultan Ala Al-Din Riayat Syah (988-1013 H/1588-1604 M) juga dilaporkan telah melanjutkan pula hubunghan politik dengan Turki. Dikatakan, Khilafah Utsmaniyah bahkan telah mengirimkan sebuah bintang kehormatan kepada Sultan Aceh, dan memberikan izin kepada kapal-kapal Aceh untuk mengibarkan bendera Turki. [28]
Kapal-kapal atau perahu yang dipakai Aceh dalam setiap peperangan terdiri dari kapal kecil yang gesit dan kapal-kapal besar. Kapal-kapal besar atau jung yang mengarungi lautan hingga Jeddah berasal dari Turki, India, dan Gujarat. Dua daerah terakhir ini merupakan bagian dari wilayah kekhilafahan Turki Utsmani. Menurut Court, kapal-kapal ini cukup besar, berukuran 500 sampai 2000 ton. [29] Kapal-kapal besar dari Turki yang dilengkapi meriam dan persenjataan lainnya dipergunakan Aceh untuk menyerang penjajah dari Eropa yang mengganggu wilayah-wilayah muslim di Nusantara. [30] Aceh benar-benar tampil sebagai kekuatan besar yang sangat ditakuti Portugis karena diperkuat oleh para ahli persenjataan dari Turki sebagai bantuan kekhilafahan tersebut terhadap Aceh. [31]
Menurut sumber-sumber Aceh, Sultan Iskandar Muda (1016-1046 H/1607-1636 M) mengirimkan armada kecil yang terdiri dari tiga kapal, yang mencapai Istanbul setelah dua setengah tahun pelayaran melalu Tanjung Harapan. Ketika misi ini kembali ke Aceh, mereka diberi bantuan sejumlah senjata, 12 pakar militer, dan sepucuk surat yang merupakan keputusan Utsmani tentang persahabataan dan hubungan dengan Aceh. Kedua belas pakar militer itu disebut sebagai pahlawan di Aceh. Mereka juga dikatakan begitu ahli sehingga mampu membantu Sultan Iskandar Muda, tidak hanya dalam membangun benteng tangguh di Banda Aceh, tetapi juga dalam membangun istana kesultanan. [32]
Dampak dari keberhasilan Khilafah Utsmaniyah menghadang Portugis di Lautan Hindia tersebut amat besar. Diantaranya mampu mempertahankan tempat-tempat suci dan jalan-jalan menuju haji; kesinambungan pertukaran barang-barang India dengan pedagang Eropa di pasar Aleppo, Kairo, dan Istambul; serta kesinambungan jalur-jalur bisnis antara India dan Indonesia dengan Timur Jauh melalui Teluk Arab dan Laut Merah. [33]
Hubungan beberapa kesultanan di Nusantara dengan Khilafah Utsmaniyah yang berpusat di Turki nampak jelas. Misalnya, Islam masuk Buton (Sulawesi Selatan) abad 16M. Silsilah Raja-Raja Buton menunjukkan bahwa setelah masuk Islam, Lakilaponto dilantik menjadi ‘sultan’ dengan gelar Qaim ad-Din (penegak agama) yang dilantik oleh Syekh Abd al-Wahid dari Makkah. Sejak itu, dia dikenal sebagai Sultan Marhum. Sejak itu pula nama sultan dipuja dalam khuthbah Jum’at. Menurut sumber setempat, penggunaan gelar ‘sultan’ ini terjadi setelah diperoleh persetujuan dari Sultan Turki (ada juga yang menyebutkan dari penguasa Makkah). Dan Syekh Wahid pula yang mengirim kabar (tentang hal ini, pen.) kepada Sultan Rum (Khalifah) di Turki. [34] Realitas ini menunjukkan bahwa Makkah berada dalam kepemimpinan Turki, dan Buton memiliki hubungan ‘struktural’ dalam bentuknya yang masih sederhana dengan Khilafah Turki Utsmani melalui perantaraan Syekh Wahid dari Makkah.
Sementara itu, di wilayah yang saat ini disebut Sumatera Barat, Penguasa Alam Minangkabau yang menyebut dirinya sebagai “Aour Allum Maharaja Diraja” dipercaya merupakan adik laki-laki sultan Ruhum (Rum). Orang Minangkabau percaya bahwa penguasa pertama mereka adalah keturunan Khalifah Rum (Utsmani) yang ditugaskan untuk menjadi Syarif di wilayah tersebut. [35] Hal ini memberikan informasi bahwa kesultanan tersebut memiliki hubungan dengan Khilafah Utsmaniyah.
Disamping ada kesultanan di Nusantara (Indonesia) yang berhubungan langsung dengan Khilafah Utsmaniyah, ada pula beberapa kesultanan yang berhubungan secara tidak langsung, yaitu melalui kesultanan lainnya, misalnya, kesultanan Ternate. Pada tahun 1570-an, saat perang Soya-soya melawan Portugis, sultan Ternate, Baabullah, dibantu oleh para sangaji dari Nusa Tenggara yang terkenal dengan armada gurap dan Demak dengan laskar Jawanya. Begitu juga Aceh dengan armada maritim yang perkasa berkekuatan 30.000 kapal perang telah memblokir pelabuhan Sumatera dan memblokade pengiriman bahan makanan, amunisi Portugis lewat jalur India dan Selat Malaka. Musuh Ternate berarti musuh Demak. [36]
Berdasarkan beberapa realitas ini terlihat bahwa kesultanan Islam di Nusantara memiliki hubungan dengan Khilafah Utsmaniyah. Bentuk hubungan tersebut berupa perdagangan, militer, politik, dakwah, dan kekuasaan.
Respon Kaum Muslim Indonesia atas Penyatuan Umat
Di saat Khilafah Islamiyah berada pada masa sulit, di mana beberapa daerahnya mulai hendak diduduki oleh kaum penjajah, muncullah upaya untuk terus mengokohkan persatuan Islam yang dimotori oleh Sultan Abdul Hamid II. Beliau menyatakan, “Kita wajib menguatkan ikatan kita dengan kaum Muslim di belahan bumi yang lain. Kita wajib saling mendekat dan merapat dalam intensitas yang sangat kuat. Sebab, tidak ada harapan lagi di masa depan kecuali dengan kesatuan ini.” [37] Inilah gagasan yang kelak dikenal sebagai Pan-Islamisme. Upaya penguatan kesatuan Islam pun sampai ke Indonesia (Hindia Belanda).
Snouck Hourgronje, penasihat kolonial Belanda, senantiasa menyampaikan informasi kepada pemerintah kolonial Hindia Belanda bahwa ada usaha gerakan pan-Islamisme untuk membujuk raja-raja dan pembesar-pembesar Hindia Belanda (kaum Muslim) untuk datang ke Istana Sultan Abdul Hamid II di Istambul. Tujuan jangka pendek yang ingin dicapainya di Batavia, lanjut Snouck, adalah mendapatkan persamaan status orang-orang Arab dan kemudian untuk semua orang Islam sederajat dengan orang-orang Eropa. Jika tujuan sudah tercapai maka orang-orang Islam tidak sukar lagi mendapat kedudukan yang lebih tinggi dari orang Eropa, yang kemudian bahkan bisa memojokkan mereka sama sekali. Pemerintah kolonial Hindia Belanda amat khawatir bila kaum Muslim tahu bahwa Sultan Abdul Hamid II menyediakan beasiswa untuk pemuda Islam. Atas biaya Sultan Abdul Hamid II, mereka dapat masuk sekolah-sekolah yang paling tinggi untuk menerima pendidikan ilmiah dan menemukan kesadaran yang mendalam tentang superioritas setiap muslim atas orang-orang kafir, kesadaran dan kehinaan yang mendalam yang tidak harus mereka terima dengan membiarkan diri mereka diperintah oleh orang kafir itu. Jika mereka telah menyelesaikan studinya dan telah melakukan ibadah haji ke Makkah, mereka diharapkan dapat berperan dalam menumbuhkembangkan pemikiran Islam di daerah mereka. [38]
Upaya pengokohan penyatuan ini terus dilakukan. Hingga tahun 1904 telah ada 7 sampai 8 konsul (‘utusan’ pen.) yang pernah ditempatkan Khilafah Utsmaniyah di Hindia Belanda. [39] Diantara aktivitas para konsul ini adalah membagi-bagikan mushaf al-Quran atas nama sultan, dan pencetakan karya-karya theologi Islam dalam bahasa Melayu yang dicetak di Istambul. Di antara kitab tersebut adalah tafsir al-Quran yang di halaman judulnya menyebut “Sultan Turki Raja semua orang Islam.”[40] Istilah Raja di sini sebenarnya mengacu pada kata al-Malik yang berarti penguasa, dan semua orang Islam mengacu pada istilah Muslimin. Jadi, sebutan tersebut menunjukkan deklarasi dari sang Khalifah bahwa beliau adalah penguasa kaum Muslim sedunia. Hal ini menunjukkan bahwa khilafah Utsmaniyah terus berupaya untuk menyatukan kesultanan Melayu ke dalamnya, termasuk melalui penyebaran al-Quran.
Sebagai respon terhadap gerakan penyatuan Islam oleh Khilafah Utsmaniyah ini, di Hindia Belanda terdapat beberapa organisasi pergerakan Islam di Hindia Belanda yang mendukung gerakan tersebut. Abu Bakar Atjeh menyebutkan di antara organisasi tersebut adalah Jam’iyat Khoir yang didirikan pada 17 Juli 1905 oleh keturunan Arab. Karangan-karangan pergerakan Islam ini di Hindia Belanda dimuat dalam surat-surat kabar dan majalah di Istambul, di antaranya majalah Al-Manar. Khalifah Abdul Hamid II yang tinggal di Istambul pun pernah mengirimkan utusannya ke Indonesia, bernama Ahmed Amin Bey, atas permintaan dari perkumpulan tersebut untuk menyelidiki keadaan kaum Muslim di Indonesia. Akibatnya, pemerintah kolonial Hindia Belanda menetapkan pelarangan bagi orang-orang Arab mendatangi beberapa daerah tertentu. [41]
Organisasi pergerakan Islam lain yang muncul sebagai respon positif terhadap penyatuan ini adalah Sarikat Islam. Peristiwa dikibarkannya bendera Turki Utsmani pada Kongres Nasional Sarikat Islam di Bandung pada tahun 1916, sebagai simbol solidaritas sesama muslim dan penentangan terhadap penjajahan, menunjukkan hal tersebut. Pada masa itu, salah satu usaha yang dilakukan Khilafah Ustmaniyah adalah menyebarkan seruan jihad dengan mengatasnamakan khalifah kepada segenap umat Islam, termasuk Indonesia, yang dikenal sebagai Jawa. Di antara seruan tersebut adalah:
“Wahai saudara seiman, perhatikanlah berapa negara lain menjajah dunia Islam. India yang luas dan berpenduduk seratus juta muslim dijajah oleh sekelompok kecil musuh dari orang-orang kafir Inggris. 40 juta muslim jawa dijajah oleh Belanda. Maroko, Al-Jazair, Tunisa, Mesir dan Sudan menderita dibawah cengkraman musuh Tuhan dan Rasul-Nya. Juga Kuzestan, berada dibawah tekanan penjajah musuh iman. Persia yang dipecah-belah. Bahkan tahta khilafah pun, oleh musuh-musuh Tuhan selalu ditentang dengan segala macam cara.” [42]
Realitas ini memberikan gambaran bagaimana khilafah Utsmaniyah memberikan dukungan dan bantuan kepada kaum Muslim Indonesia serta memandangnya sebagai satu kesatuan tubuh, bahkan menyerukan untuk membebaskan diri dari penjajah musuh iman. Dalam hal ini kaum Muslim memberikan respon positif terhadap upaya pengokohan kesatuan umat Islam sedunia tersebut.
Respon kaum Muslim Indonesia atas keruntuhan Khilafah Utsmaniyah
Pada tanggal 3 Maret 1924, Mustafa Kamal la’natullahu ’alaih memutuskan untuk melakukan pembubaran Khilafah yang disebutnya sebagai “bisul sejak abad pertengahan.”[43] Pada pagi hari 1924, diumumkan bahwa Majelis Nasional telah menyetujui penghapusan Khilafah dan pemisahan agama dari urusan-urusan negara. Malamnya, Khalifah pun diusir secara paksa oleh kesatuan polisi dan militer. [44] Secara resmi, runtuhlah Khilafah Utsmaniyah pada 3 Maret 1924 tersebut.
Penghancuran kepemimpinan umat Islam sedunia tersebut mengguncang seantero alam, termasuk Indonesia. Sebagai respon terhadap keruntuhan Khilafah, sebuah Komite Khilafah didirikan di Surabaya tanggal 4 Oktober 1924 dengan ketua Wondosudirdjo (kemudian dikenal dengan nama Wondoamiseno) dari Sarikat Islam dan wakil ketua K.H.A. Wahab Hasbullah. Tujuannya untuk membahas undangan kongres kekhilafahan di Kairo. [45] Pertemuan ini ditindaklanjuti dengan menyelenggarakan kongres Al-Islam Hindia ketiga di Surabaya tanggal 24-27 Desember 1924. Kongres ini diikuti oleh 68 organisasi Islam yang mewakili pimpinan pusat (hoofd bestuur) maupun cabang (afdeling), serta mendapat dukungan tertulis dari 10 cabang organisasi lainnya. Kongres ini dihadiri pula oleh banyak ulama dari seluruh penjuru Indonesia. Keputusan penting Kongres ini adalah melibatkan diri dalam pergerakan khilafah dan mengirimkan utusan yang harus dianggap sebagai wakil umat Islam Indonesia ke kongres dunia Islam. [46] Kongres ini memutuskan untuk mengirim sebuah delegasi ke Kairo yang terdiri dari Surjopranoto (Sarikat Islam), Haji Fachruddin (Muhammadiyah), dan K.H.A. Wahab dari kalangan tradisi. [47]
Karena ada perbedaan pendapat dengan kalangan Muhammadiyah, K.H.A. Wahab dan tiga penyokongnya mengadakan rapat dengan kalangan ulama kaum tua dari Surabaya, Semarang, Pasuruan, Lasem, dan Pati. Mereka sepakat mendirikan Komite Merembuk Hijaz. Komite ini dibangun dengan dua maksud, yaitu pertama untuk mengimbangi Komite Khilafat yang secara berangsur-angsur jatuh ke tangan golongan pembaharu, dan kedua, untuk berseru kepada Ibnu Su’ud penguasa baru di tanah Arab agar kebiasaan beragama secara tradisi dapat diteruskan. [48] Komite inilah yang diubah namanya menjadi Nahdlatul Ulama (NU) pada suatu rapat di Surabaya tanggal 31 Januari 1926. Rapat ini tetap menempatkan masalah Hijaz sebagai persoalan utama. [49] Sekalipun terdapat beda pendapat, akan tetapi kalangan Muhammadiyah dan Sarikat Islam maupun kalangan NU sama-sama memberikan perhatian besar terhadap keruntuhan khilafah Islamiyah dan memandangnya sebagai persoalan utama kaum Muslim.
Sikap ini lahir dari keyakinan bahwa Khilafah adalah kepemimpinan umum bagi kaum Muslim. Umat Islam Indonesia saat itu memandang Sultan Turki sebagai Khalifah. [50] Di antara tokoh Indonesia dari Sarikat Islam, HOS Cokroaminoto, menyatakan bahwa khalifah bukan semata-mata untuk umat Islam di jazirah Arab, tetapi juga bagi umat Islam Indonesia. Ditegaskannya pula bahwa khalifah merupakan hak bersama sesama muslim dan bukan dominasi bangsa tertentu. [51] Lebih tegas lagi, Cokroaminoto juga menyatakan selain dua kota suci Makkah-Madinah, khalifah adalah milik umat Islam sedunia. Ia menyarankan untuk mengirimkan utusan ke Kongres. Tujuannya untuk “mempertoendjoekan moeka terhadap oemat Islam sedoenia”, dan “melakoekan segala oesaha jang ditimbang bergoena bagi oemat Islam di negeri kita”. Di samping itu, mencari keterangan mengenai kelanjutan pemilihan khalifah. [52] Bahkan, beliau menganalogikan umat Islam laksana suatu tubuh. Karenanya, bila umat Islam tidak memiliki khalifah maka “seolah-olah badan tidak berkepala.” [53]
Penutup
Berdasarkan beberapa catatan sejarah di atas dapat disimpulkan bahwa kesultanan Islam di Indonesia memiliki hubungan yang sangat erat dengan Khilafah Utsmaniyah. Bahkan bukti-bukti tersebut menggambarkan kesultanan Islam di Indonesia sebagai bagian tak terpisahkan dari Khilafah Islamiyah.
Hanya saja, disaat kekuatan Khilafah Utsmaniyah mulai melemah, penjajah kafir Barat (Inggris) melalui agennya, Mustafa Kamal, berhasil meruntuhkannya. Akibatnya, institusi pemersatu kaum Muslim sedunia itu pun lenyap dan wilayah negeri-negeri Muslim pun terpecah belah di bawah kekuasaan penjajah.
Sementara di Indonesia sendiri, pasca penjajahan secara fisik (militer), beberapa tokoh yang ingin membangun Indonesia berdasarkan sistem politik Islam, juga mengalami kegagalan akibat adanya ‘pengkhianatan’. Walhasil, Indonesia pun menjadi sebuah negara yang ‘merdeka’ atas dasar sekularisme dan nasionalisme. Hal ini menjadikan perpecahan negeri-negeri Muslim terus berlanjut dan menjadikan kaum Muslim tetap dalam kondisi lemah.
Merujuk pada kenyataan sejarah yang ada, tampak jelas bahwa upaya menyatukan kaum Muslim di berbagai negeri Muslim, termasuk Indonesia, atas dasar Islam merupakan sebuah keniscayaan sejarah. Bagi kaum Muslim Indonesia, perjuangan untuk melanjutkan kehidupan Islam dan menyatukan negeri Islam dalam kekhilafahan bukan semata-mata wujud ketaatan kepada perintah Allah SWT. Aktivitas tersebut sesungguhnya juga merupakan upaya untuk meneruskan sejarah, di samping upaya untuk melanjutkan perjuangan para Sultan dan Ulama Saleh terdahulu yang telah mempersatukan Nusantara dengan Khilafah Islamiyah. Sebaliknya, penentangan terhadap upaya ini merupakan wujud pengingkaran terhadap sejarah Indonesia, di samping pengingkaran terhadap perintah Allah SWT.
[hizbuth tharir]
CATATAN KAKI
[1] Uka Tjandrasasmita, “Hubungan Perdagangan Indonesia-Persia (Iran) Pada Masa Lampau
(Abad VII-XVII M) daan Dampaknya terhadaap Beberapa Unssur Kebudayaan” Jauhar Vol. 1, No. 1, Desember 2000 hal. 32.
[2] Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan XVIII, Edisi Revisi (Jakarta: Prenada Media, 2004) hal. 27-28.
[3] Ibid. hal. 28
[4] Farooqi, “Protecting the Routhers to Mecca,” hal. 215-6, dikutip dari Ibid hal. 44.
[5] Metin Innegollu, “The Early Turkish-Indonesian Relation,” dalam Hasan M. Ambary dan Bachtiar Aly (ed.), Aceh dalam Retrospeksi dan Reflkesi Budaya Nusantara, (Jakarta: Informasi Taman Iskandar Muda, tt), hal. 54.
[6] Azyumardi Azra, op.cit. hal. 44
[7] Marwati Djuned Pusponegoro (eds.), Sejarah Nasional Indonesia, Jilid III (Jakarta: Balai Pustaka, 1984), hal. 54.
[8] Metin Innegollu, op.cit. hal. 54
[9] Azyumardi Azra, Renaisans Islam Asia Tenggara ; Sejarah wacana dan kekuasaan. (Bandung : Rosda, 1997), hal. 116-118).
[10] Snouck Hurgronje, 1994, Nasehat-nasehat C. Snouck Hurgronje semasa kepegawaiannya kepada pemerintah Hindia Belanda; 1889 –1936. (Jakarta : INIS), hal. 1631.
[11] Peunoh Daly, ‘Hukum Nikah, Talak, Rujuk, Hadanah dan Nafkah dalam Naskah Mir’at al-Tullab Kaarya Abd Raauf Singkel,” Disertasi Fakultas Syariah IAIN Syarif Hidayatullah (Jakarta, 1982). Hal. 15-16.
[12] Ibid. hal. 32
[13] Ibid hal. 36
[14] Para khalifah Turki Ustmani sering disebut sebagai “Sultan Rum” karena menduduki Konstantinopel yang merupakan bekas Kerjaaan Romawi Timur. Ini merupakan hasil wawancara tim Hizbut Tahrir Indonesia dengan Prof.Dr. Uka Tjandrasasmita, Selasa, 11 Januari 2005.
[15] Azyumardi Azra, 2004, op.cit. hal. 36.
[16] Ibid hal. 38
[17] Ibid. hal. 36
[18] Saleh Obazan, dikutip dari Azyumardi Azra, op.cit. hal. 40-41.
[19] Dr. Yusuf ats-Tsaqafi, Mawqif Uruba min ad-Daulat al-Utsmaniyyah, hal. 37.
[20] Saleh Obazan, op.cit. hal. 41
[21] Marwati Djuned Pusponegoro (eds.), op.cit. hal. 33.
[22] Azyumardi Azra, op.cit. hal. 42.
[23] Lukman Thaib, “Aceh Case: Possible Solution to Festering Conflict,” Journal of Muslim Minorrity Affairs, Vol. 20, No. 1, tahun 2000 hal. 106
[24] Metin Inegollu (the Ambassador of Turkey), The early Turkish-Indonesian Relations, Aceh dalam restrospeksi dan refleksi budaya Nusantara (Editor Hasan Muarif Ambary dan Bachtiar Aly), Informasi Taman Iskandarmuda (INTIM), Jakarta, tt, hal. 53-55.
[25] Ibid, hal. 53.
[26] Azyumardi Azra, op.cit. hal.. 43-44.
[27] H.M. Zainuddin, Tarich Atjeh dan Nusantara (Medan: Pustaka Iskandar Muda, 1961) hal. 272-77; lihat juga, op.cit. hal. 44.
[28] Azyumardi Azra, op.cit. hal. 44-45.
[29] Marwati Djuned Puspo dan Nugroho Notosusanto, op.cit. hal. 56.
[30] Ibid. hal. 96.
[31] Ibid. hal. 257.
[32] Azyumardi Azra, op.cit. hal. 45.
[33] Ali Muhammad Ash-Shalabi, Bangkit dan Runtuhnya Khilafah Utsmaniyah (Terj.), Pustaka Al Kautsar, tahun 2003, hal. 258-259.
[34] Abd. Rahim Yunus, Posisi Tasawuf dalam Sistem Kekuasaan di Kesultanan Buton pada Abad ke-19, INIS Jakarta, tahun 1995, hal. 10.
[35] W. Marsden, The History of Sumatra, London: Thomas Paine & Sons, 1783, 272, 283 dikutip oleh Ayzumardi, 2004, op.cit. hal. 33.
[36] RZ. Leirissa, Shalfiyanti, dan Restu Gunawan, Ternate Sebagai Bandar Jalur Sutra, Jakarta: Ilham Bangun Karya, tahun 1999, hal. 59-60.
[37] Mudzkirat as-Sulthan Abdul Hamid ats-Tsani, Pengantar oleh Dr. Muhammad Harb, Dar al-Qalam, 1412H/1991M, hal. 23.
[38]Hamid Al-Gadri, Islam dan Keturunan Arab dalam Pemberontakan melawan Belanda, tahun1996, Mizan Bandung, hal. 132-152.
[39] Snouck Hurgronje, op.cit. hal. 1691.
[40] Ibid, hal. 1740.
[41] Abu Bakar Atjeh, Salaf, Gerakan Salaf di Indonesia. Pertama, Jakarta, hal. 103-104.
[42] H. Aqib Suminto, Politik Islam Hindia Belanda, tahun 1991, LP3ES Jakarta, hal. 81-82, dan 219.
[43] Muhammad Zahid Abdul Fattah Abu Ghuddah, at-Tarikh al-Utsmaniy fi Syi’ri Ahmad Syauqi, Dar al-Raid Kanada, Cet. I, tahun 1417H/1996M, hal. 110.
[44] Abdul Qadim Zallum, Konspirasi Barat meruntuhkan Khilafah Islamiyah (Terj.), Pustaka Thariqul ‘Izzah, tahun 2001, hal. 183.
[45] Bandera Islam, 16 Oktober 1924
[46] Bandera Islam, 8 Februari 1925. Lihat juga Deliar Noer, Gerakan modern Islam di Indonesia 1900-1942, tahun 1973, LP3ES Jakarta, hal. 242.
[47] Hindia Baroe, 9 Januari 1925.
[48] Deliar Noer, ibid. hal. 242.
[49] Ibid, hal. 243.
[50] Ibid, hal. 242.
[51] Hindia Baroe, 9 Februari 1926.
[52] Bintang Islam, bundel tahun 1927, hal. 19.
[53] Hindia Baroe, 15 Januari 1926.
[Sumber: Seruan Global]
salam kenal dari negeri melayu Riau
ReplyDeleteSalam kenal kembali, tuanku.
ReplyDeleteTerima kasih patik ucapkan untuk waktu yang sudah tuanku luangkan bagi laman ini.
Assalamu 'alaikum... saya sangat senang sekali adanya blog ini, dengan penuh harapan semoga, blog ini akan menjadi pemersatu bangsa melayu yang sangat luas dan bersatu menjunjung tinggi adat istiadat yang sangat baik ini, dan tidak terjangkit adat istiadat dari barat yang saat ini saudah dirasakan betapa dangkalnya.
ReplyDelete