Situasi Beberapa Kerajaan Di Sumatera Timur
Oleh T. Luckman Sinar Basyarsyah II
Siak
Seperti telah disinggung, pada tahun 1885 putra Sultan yang tertua, Tengku Muda Anom ditunjuk sebagai pengganti Sultan, sementara Mangkubumi dan Tengku Muda tidak disukai Belanda karena kegiatannya, sehingga keduanya dipecat dari jabatannya. Kemudian Tengku Ngah Said Hasyim, putra sultan yang bungsu diangkat menggantikannya. Pada tanggal 21 Oktober 1899 Sultan Syarief Kasim mangkat dan digantikan oleh Sultan Syarief Hasyim.
Setiap pergantian raja, Belanda selalu menyodorkan perjanjian baru yang semakin mempersempit hak raja tersebut. Dalam pengangkatan Sultan Syarief Hasyim, perjanjian yang dibuat pada tanggal 1 Februari 1858 diubah, yaitu dihapusnya lembaga orang-orang besar menurut adat Melayu, sehingga Sultan dijadikan penguasa tunggal di Kerajaan Siak. Dalam perubahan Kontrak Politik yang dilakukan pada 25 Oktober 1890 disebutkan bahwa wilayah Kerajaan Siak hanya meliputi daerah Teratak Buluh, beberapa pulau (Bengkalis tidak termasuk di dalamnya), dan daerah jajahan yang meliputi Tapung Kanan, Tapung Kiri, Tanah Putih, Bangko, dan Kubu. Dewan kerajaan tertinggi dan kepala-kepala suku bersama Laksamana Bukit Batu tidak dapat langsung berurusan dengan residen, akan tetapi harus melalui Siak, kemudian disampaikan kepada Gubernemen Hindia Belanda.
Hukuman mati dapat dilaksanakan oleh Kerapatan Sultan bila disetujui oleh residen. Permintaan grasi oleh terpidana ditujukan kepada Gubernur Jenderal. Begitu juga orang-orang berbahaya yang akan dibuang ke luar wilayah Siak ditentukan oleh Gubernur Jenderal. Semua cukai pelabuhan diambil oleh Belanda. Begitu juga semua hak mengutip pajak, kecuali (a) barang larangan (gading gajah, sumbu badak, guliga, gaharu, dan lain-lain); (b) apak Lawang (pajak tanah untuk pendatang yang berupa 10 gantang padi/ladang); (c) pancong alas (pajak pendatang sebesar 10% dari nilai hasil hutan yang dipungut); (d) hasil tanah dan konsesi; (e) sewa konsesi kayu di Sungai Bawa dan Kota Buruk. Untuk mengatur agar tidak terjadi perselisihan dalam keluarga, Belanda menaikkan schadeloostelling menjadi FL. 50.000 per tahun untuk pribadi Sultan Syarief Hasyim dengan syarat Sultan melepaskan warisan lainnya kepada saudara-saudaranya.
Setelah terjadi perubahan Kontrak Politik, Sultan Siak kemudian memberi izin untuk adanya suatu dinas transportasi dengan kuda-kuda beban sebagai kendaraan antara Teratak Buluh dan Pekanbaru. Kejadian ini tidak disenangi oleh orang-orang V Koto yang dengan seratus buah sampan turun untuk membunuh kuda-kuda beban itu. Pada tanggal 21 September 1893, Asisten Residen mengirim 24 serdadu dari Bengkalis untuk perlindungan. Pada tahun, 1898 Sultan Syarief Hasyim pergi ke Belanda untuk menghadiri penobatan Ratu Wilhemina. Dalam kesempatan itu dia diberi bintang Ridden Orde v.d. Ned. Leeuw.
Pengganti Sultan Syarief Hasyim adalah putranya, Sultan Syarief Kasim Abdul Jalil Syaifuddin yang menandatangani Kontrak Politik pada tanggal 24 Mei 1916. Mula-mula dia dibimbing mertuanya, Pangeran Embung dari Langkat. Dengan ditemukannya timah di daerah Tapung, Lima Koto, dan Rokan, Belanda mulai mengadakan reorganisasi pemerintahan di sana, terutama sampai batas jajahan Siak dengan Kampar atau dengan Kota Intan, sebab orang--orang Tapung juga mempunyai pameo “Beraja ke Siak, bertuan ke kota Intan”. Akhirnya sesuai dengan isi Kontrak Politik Siak terbaru yang ditandatangani tahun 1890, wilayah Tapung dimasukkan ke Siak, dengan alasan bahwa dari dulu Bendahara-bendahara Ketapahan, Tandun, Kasikan, Batu Gajah, Kebon, Kota Renah, Liantan, dan Selijang mendapat cap dari Sultan Siak.
Kampar (Pelalawan)
Menurut laporan ahli pertambangan, Ir. Everwijn, yang menjelajahi wilayah Kampar untuk mencari timah, kerajaan ini terdiri dari wilayah Kampar Besar, Teratak Buluh, Kampar, Lima Koto, dan Delapan Koto. Sebagian besar kegiatan dilakukan melalui Sungai Kampar dari Kampung Sibaros-baros sampai ke laut di Pulau Serapong dan Penyeleian. Di pulau-pulau ini sudah terdapat kegiatan panglong Cina.
Kontrak Politik dengan Pelalawan ditandatangani oleh Tengku Besar Said Abubakar pada tanggal 4 Februari 1879, diikuti dengan penyerahan berbagai kutipan pajak, bea cukai, dan lain-lain seperti halnya Siak. Pada tahun 1885 di Pelalawan ditempatkan seorang kontrolir dan petugas bea cukai. Oleh karena tahun 1887 Said Abubakar mangkat, untuk sementara pemerintahan dipegang oleh putranya, Tengku Sentul, yang kemudian juga meninggal dunia. Pada tahun 1894, Tengku Putra Said Hasyim ditabalkan sebagai raja baru. Dia merupakan anak kedua Said Abubakar. Pentabalan ini dibarengi dengan perubahan perjanjian lama dengan syarat-syarat yang lebih mengurangi hak raja, sehingga negeri ini menjadi miskin. Belanda berencana penganti raja selanjutnya akan diminta untuk menjadikan negeri ini sebagai korte verklaring (Plass, 1917: 179; Fals, 1882).
Gunung Sahilan
Di akhir abad ke-19, Asisten Residen Bengkalis berencana akan berkunjung ke Gunung Sahilan karena Yang Dipertuan menuntut daerah IV Koto di Hilir, IV Koto di Mudik, dan daerah Singingi masuk ke residennya. Klaim itu ditentang oleh daerah-daerah tersebut. Oleh karena takut dikenali oleh orang Singingi, Asisten Residen Bengkalis batal ke Gunung Sahilan.
Daerah Rokan
Ada dua daerah Sungai Rokan yang utama, yaitu Rokan Kiri dan Rokan Kanan. Di sepanjang hulu sungai itu terdapat kerajaan-kerajan kecil yang pada akhir abad ke-19 masih merdeka. Kerajaan-kerajaan tersebut adalah Kepenuhan, Rambah, dan Tambusai di Rokan Kanan serta Kunto Darussalam dan Rokan IV Koto di Rokan Kiri. Kunto Darussalam terbagi atas Kota Intan (di Tapung) dan Kota Lama. Pada tahun 1893 terjadi perselisihan antara Raja Kepenuhan dengan adiknya. Raja Rambah dan Tambusai ingin ikut campur, tetapi hal ini sudah ditangani oleh pembesar Siak. Pada tahun 1875 terdengar bahwa Yang Dipertuan Kota Intan, Jumadil Alam, telah mengumpulkan para bendahara untuk diperintah dengan paksa. Sultan Siak mengirim laskar ke sana bersama Kontrolir Siak, sehingga Jumadil Alam kembali ke Kota Intan.
Siak meninggalkan sejumlah laskar bersenjata di Kasikan. Atas dasar ini Belanda kemudian mempersiapkan ekspedisi militer untuk menghukum Kota Intan dengan mengirim colonne di bawah pimpinan Kapten lnfanteri Barthelemy dengan empat opsir dan 135 serdadu dari garnisun Medan. Pada tanggal 19 Januari 1876 ekspedisi militer Belanda ini meninggalkan Kasikan. Setelah melakukan perlawanan dengan sengit, para pejuang terpaksa berpencar ke hutan dan Belanda membakar rata Kampung Kota Intan. Pada tanggal 10 Februari 1876, sebagian besar ekspedisi militer kembali ke Medan dan di Kasikan tersisa satu detasemen militer untuk pendudukan. Pada bulan Maret 1876 kepala Kampung Lindak dan Kota Intan berunding dengan Residen Sumatera Timur. Pada tahun 1877 Tambusai ditundukkan Belanda.
Pada tahun 1881 Sultan Siak mengklaim Tambusai sebagai jajahannya, karena Raja Tambusai berdiam di wilayah Siak (Tanah Putih). Residen Bengkalis kemudian menjadi penengah atas berbagai klaim dan soal perbatasan antara Tambusai dengan Siak dan antara Kepenuhan dengan Rantau Binuang. Kemudian, dengan akta perjanjian yang ditandatangani pada tanggal 12 Januari 1885, Yang Dipertuan Zainal Abidin diakui sebagai Raja Tambusai dan Rantau Binuang dikembalikan kepada Siak (1888).
Rokan IV Koto yang terdiri dari Lubuk Bendahara, Rokan, Gedung Batu, dan Pandalian, yang dikepalai Yang Dipertuan Lubuk Bendahara, juga dikuasai Belanda pada tahun 1888. Mengenai daerah Distrik Kuantan dan Hulu Kampar dapat dibaca dalam laporan Ir. J. W. Ijzerman pada bulan Maret 1891. Ijzerman meneliti kemungkinan pengiriman batubara dari tambang Umbilin melalui Sungai Siak ke Selat Malaka (Dwars door Sumatera).
Yang Dipertuan Zainal Abidin dibuang oleh Belanda ke Madiun dengan Beslit Gubernur Jenderal tertanggal 27 November 1904 no. 3, karena berani melawan Belanda. Pada tahun 1905 Tambusai berada di bawah pemerintahan bersama antara Muhammad Sulung yang bergelar Sultan Mansyur dengan Abdul Hamid yang bergelar Sutan Jumadil Alam (dari wilayah Sosa dan Batang Kumu). Kemudian pada tahun 1917 Haji Ahmad alias Muhammad Sulung menjadi Raja Tambusai. Adapun raja-raja di Rokan yang menandatangani Pernyataan Pendek adalah (a) Yang Dipertuan Besar Abduljalil, dari Gunung Sahilan (27 Februari 1905); (b) Yang Dipertuan Besar Kasam, dari Kunto Darusslam (24 Maret 1905); (c) Yang Dipertuan Sakti Ibrahim, dari Empat Koto Rokan Kiri (1 Mei 1905); (d) Si Tampeong bergelar T. Maharaja Lela, dari Kepenuhan (27 Mei 1905); (e) Yang Dipertuan Besar Abd. Rahman, dari Gunung Sahilan (29 Mei 1907); (f) Yang Dipertuan Besar Ahmad bin Akhirzaman, dari Empat Koto Rokan Kiri (1 Mei 1910); (g) Yang Dipertuan Besar Ali Tandung, dari Kunto Darussalam (25 Juni 1910).
Kotapinang, Panai, dan Billah
Di tahun 1864 Belanda telah mengakui Sultan Mustafa sebagai Yang Dipertuan Kotapinang. Ia meninggal dan digantikan putranya, Sultan Ismail Yang Dipertuan Sakti, yang membuat pernyataan pendek tertanggal 4 September 1872. Pada tahun 1887 batas antara Kotapinang dengan wilayah Siak Tanah Putih dan Kubu diresmikan.
Di Panai, Sultan Abdullah digantikan oleh Sultan Gegar Alam. Pada tahun 1887 Sultan Gegar Alam meminta agar digantikan oleh putranya, Sultan Mengedar Alamsyah. Tahun 1884 kantor pabean Belanda di Panai diserang oleh rakyat dari arah laut. Pada tahun 1888, batas Panai dengan Siak (Kubu) diresmikan dan tahun 1895 kedudukan Kontrolir Labuhan Batu dipindahkan ke Labuan Bilik. Kemudian tahun 1883 Raja Muda Billah dibuang Belanda ke Bengkalis (Sinar, 1970).
Asahan dan Kualah
Pada tanggal 18 Maret 1882, Yang Dipertuan Muda Asahan, Naamatullah yang juga menjadi Raja Kualah-Leidong, meninggal dunia. Ia digantikan putranya, Haji Muhammad Syah, sebagai Raja Kualah dan lepas dari Asahan. Haji Muhammad Syah membuat perjanjian dengan Belanda pada tanggal 25 Maret 1886. Pemberontakan rakyat di Asahan yang menghendaki kembalinya Sultan Ahmadsyah masih terus berlangsung. Bahkan pos Belanda di Si Alang Kelong dan Bandan Baru diserang gerilyawan pada tahun 1883. Akhirnya pada tahun 1886 Sultan Ahmadsyah dikembalikan ke tahtanya di Asahan. Pada tanggal 27 Juni 1888, Sultan Ahmadsyah meninggal dunia tanpa meninggalkan anak, sehingga kedudukannya digantikan oleh Sultan Muhammad Husinsyah yang merupakan putra adiknya, Tengku Adil. Putra dan pengganti Husinsyah adalah Sultan Saibun Abdul Jalil Rahmatsyah (Kroesen, 1886).
Batubara
Bekas jajahan Siak, Tanjung, Pare-pare, dan Pagarawan, diakui Belanda sebagai wilayah tersendiri dan masuk Batubara. Pada tahun 1894, Raja Pagarawan, Datuk Setia Wangsa, dibuang ke Bengkalis dan digantikan putranya, Datuk Setia Maharaja Lela. Pada tahun 1900, Raja Tanjung Kasau digantikan adiknya, Raja Maharuddin (Scheemaker, 1869; Sinar, 1970a).
Deli, Langkat, dan Serdang
Pada tanggal 25 Oktober 1873 Sultan Mahmud meninggal dan digantikan putranya, Sultan Mahmun al Rasyid Perkasa Alamsyah. Mula-mula Sultan Siak menuntut agar Sultan Mahmun al Rasyid Perkasa Alamsyah datang ke Siak untuk menerima gelar sebagai Sultan Deli, langsung dari tangannya. Meskipun dulu Belanda mengakui hak Sultan Siak atas Deli, namun Residen menyatakan bahwa keadaan sudah berubah karena kemakmuran yang dicapai Deli, sehingga Sultan Siak mengalah dengan menghadiri pelantikan Sultan Deli di Bengkalis, seolah-olah hanya sebagai saksi. Setelah menerima surat pengangkatan dan gelar baru dari Residen atas nama pemerintah Hindia Belanda, Sultan Deli kemudian menyembah Sultan Siak untuk basa basi terhadap Sultan yang lebih tinggi kedudukannya (Brandhof, 1909).
Berdasarkan Staatblad 1879/205, kedudukan Asisten Residen Deli dipindahkan dari Labuhan ke Medan, sehingga pada tahun 1888 Sultan Deli membuat istana Maimun di Medan dan kemudian pindah ke sana. Sultan Makmun al Rasyid Perkasa Alamsyah dikenal sebagai raja yang kaya dan setelah meninggal kemudian diberi gelar Marhum Makmur. Ia juga menghibahkan tanah kepada Gubernemen Hindia Belanda untuk dijadikan tapak kota Medan. Ia digantikan oleh putranya, Sultan Amaluddin Sani Perkasa Alamsyah.
Pada tahun 1880 Sultan Serdang, Tuanku Basyaruddin Syaiful Alamsyah, meninggal dunia dan sesuai adat “Raja mangkat, raja menanam”, maka para orang besar dan rakyat menobatkan putra tunggalnya menjadi raja dan bergelar Sultan Sulaiman Syariful Alamsyah. Oleh karena raja belum dewasa, untuk sementara waktu pemerintahan dipangku pamannya, Raja Muda Mustafa.
Perselisihan soal perbatasan antara Deli dan Serdang terjadi terus-menerus, terutama mengenai Senembah, Denai, dan Percut, sehingga Belanda belum mengakui Sultan Sulaiman Syariful Alamsyah sebagai Sultan Serdang. Atas tekanan Belanda dan untuk keuntungan Deli, diputuskan bahwa Denai dikembalikan kepada Serdang (1882). Sungai Tuan dan hulu Sungai Batangkuwis dijadikan sebagai batas Deli dengan Serdang, dan Senembah dibagi dua. Setelah itu, Belanda baru mengakui Sultan Sulaiman dengan penandatanganan kontrak di Bengkalis pada tanggal 29 Januari 1887. Pada bulan Juli 1895, Sultan Sulaiman mengirimkan patroli laskar bersenjata untuk menghadapi kerusuhan di hulu Serdang (daerah Batak Karo) yang dikenal dengan nama “Perang Pak Abdullah”. Oleh karena hubungan yang mesra dengan Raja-raja Batak di hulu itu, maka banyak Raja Batak yang memasukkan daerahnya di bawah kekuasaan Serdang.
Pada tahun 1879, Pangeran Langkat Musa naik haji ke Mekah. Setelah kembali, ia menunjuk putra bungsunya sebagai bakal penggantinya. Sementara itu, gerilyawan Aceh di pedalaman Langkat terus membakar perkebunan dan tambang minyak di Brandan, sehingga Belanda menempatkan garnizun di Tanjung Pura (Sinar, 1981a). Dalam bulan Maret 1886, Kejeruan Bahorok, Tengku Abdurrahman, mengobarkan perang sabil dan mengajak rakyat Langkat untuk melawan Belanda. Ketika pasukan Belanda datang ke Bahorok, para gerilyawan yang dipimpinnya sempat pergi menyingkir ke Tanah Alas. Tidak lama kemudian, ia meninggal dunia di sana.
Pada tahun 1893 Pangeran Musa turun dari tahta dan mengangkat putra bungsunya, Sultan Abdul Azis. Kemudian Pangeran Musa mengundurkan diri dan pergi suluk pada pesantren Tuan Syekh Babussalam dari aliran Tarekat Naqsabandiyah yang dibangun Pangeran Musa sendiri di Basilam. Setelah Sultan Abdul Aziz meninggal pada tahun 1925, ia digantikan putranya, Sultan Mahmud Abdul Jalil Rahmatsyah.
Sumber: Khalik News
Seperti telah disinggung, pada tahun 1885 putra Sultan yang tertua, Tengku Muda Anom ditunjuk sebagai pengganti Sultan, sementara Mangkubumi dan Tengku Muda tidak disukai Belanda karena kegiatannya, sehingga keduanya dipecat dari jabatannya. Kemudian Tengku Ngah Said Hasyim, putra sultan yang bungsu diangkat menggantikannya. Pada tanggal 21 Oktober 1899 Sultan Syarief Kasim mangkat dan digantikan oleh Sultan Syarief Hasyim.
Setiap pergantian raja, Belanda selalu menyodorkan perjanjian baru yang semakin mempersempit hak raja tersebut. Dalam pengangkatan Sultan Syarief Hasyim, perjanjian yang dibuat pada tanggal 1 Februari 1858 diubah, yaitu dihapusnya lembaga orang-orang besar menurut adat Melayu, sehingga Sultan dijadikan penguasa tunggal di Kerajaan Siak. Dalam perubahan Kontrak Politik yang dilakukan pada 25 Oktober 1890 disebutkan bahwa wilayah Kerajaan Siak hanya meliputi daerah Teratak Buluh, beberapa pulau (Bengkalis tidak termasuk di dalamnya), dan daerah jajahan yang meliputi Tapung Kanan, Tapung Kiri, Tanah Putih, Bangko, dan Kubu. Dewan kerajaan tertinggi dan kepala-kepala suku bersama Laksamana Bukit Batu tidak dapat langsung berurusan dengan residen, akan tetapi harus melalui Siak, kemudian disampaikan kepada Gubernemen Hindia Belanda.
Hukuman mati dapat dilaksanakan oleh Kerapatan Sultan bila disetujui oleh residen. Permintaan grasi oleh terpidana ditujukan kepada Gubernur Jenderal. Begitu juga orang-orang berbahaya yang akan dibuang ke luar wilayah Siak ditentukan oleh Gubernur Jenderal. Semua cukai pelabuhan diambil oleh Belanda. Begitu juga semua hak mengutip pajak, kecuali (a) barang larangan (gading gajah, sumbu badak, guliga, gaharu, dan lain-lain); (b) apak Lawang (pajak tanah untuk pendatang yang berupa 10 gantang padi/ladang); (c) pancong alas (pajak pendatang sebesar 10% dari nilai hasil hutan yang dipungut); (d) hasil tanah dan konsesi; (e) sewa konsesi kayu di Sungai Bawa dan Kota Buruk. Untuk mengatur agar tidak terjadi perselisihan dalam keluarga, Belanda menaikkan schadeloostelling menjadi FL. 50.000 per tahun untuk pribadi Sultan Syarief Hasyim dengan syarat Sultan melepaskan warisan lainnya kepada saudara-saudaranya.
Setelah terjadi perubahan Kontrak Politik, Sultan Siak kemudian memberi izin untuk adanya suatu dinas transportasi dengan kuda-kuda beban sebagai kendaraan antara Teratak Buluh dan Pekanbaru. Kejadian ini tidak disenangi oleh orang-orang V Koto yang dengan seratus buah sampan turun untuk membunuh kuda-kuda beban itu. Pada tanggal 21 September 1893, Asisten Residen mengirim 24 serdadu dari Bengkalis untuk perlindungan. Pada tahun, 1898 Sultan Syarief Hasyim pergi ke Belanda untuk menghadiri penobatan Ratu Wilhemina. Dalam kesempatan itu dia diberi bintang Ridden Orde v.d. Ned. Leeuw.
Pengganti Sultan Syarief Hasyim adalah putranya, Sultan Syarief Kasim Abdul Jalil Syaifuddin yang menandatangani Kontrak Politik pada tanggal 24 Mei 1916. Mula-mula dia dibimbing mertuanya, Pangeran Embung dari Langkat. Dengan ditemukannya timah di daerah Tapung, Lima Koto, dan Rokan, Belanda mulai mengadakan reorganisasi pemerintahan di sana, terutama sampai batas jajahan Siak dengan Kampar atau dengan Kota Intan, sebab orang--orang Tapung juga mempunyai pameo “Beraja ke Siak, bertuan ke kota Intan”. Akhirnya sesuai dengan isi Kontrak Politik Siak terbaru yang ditandatangani tahun 1890, wilayah Tapung dimasukkan ke Siak, dengan alasan bahwa dari dulu Bendahara-bendahara Ketapahan, Tandun, Kasikan, Batu Gajah, Kebon, Kota Renah, Liantan, dan Selijang mendapat cap dari Sultan Siak.
Kampar (Pelalawan)
Menurut laporan ahli pertambangan, Ir. Everwijn, yang menjelajahi wilayah Kampar untuk mencari timah, kerajaan ini terdiri dari wilayah Kampar Besar, Teratak Buluh, Kampar, Lima Koto, dan Delapan Koto. Sebagian besar kegiatan dilakukan melalui Sungai Kampar dari Kampung Sibaros-baros sampai ke laut di Pulau Serapong dan Penyeleian. Di pulau-pulau ini sudah terdapat kegiatan panglong Cina.
Kontrak Politik dengan Pelalawan ditandatangani oleh Tengku Besar Said Abubakar pada tanggal 4 Februari 1879, diikuti dengan penyerahan berbagai kutipan pajak, bea cukai, dan lain-lain seperti halnya Siak. Pada tahun 1885 di Pelalawan ditempatkan seorang kontrolir dan petugas bea cukai. Oleh karena tahun 1887 Said Abubakar mangkat, untuk sementara pemerintahan dipegang oleh putranya, Tengku Sentul, yang kemudian juga meninggal dunia. Pada tahun 1894, Tengku Putra Said Hasyim ditabalkan sebagai raja baru. Dia merupakan anak kedua Said Abubakar. Pentabalan ini dibarengi dengan perubahan perjanjian lama dengan syarat-syarat yang lebih mengurangi hak raja, sehingga negeri ini menjadi miskin. Belanda berencana penganti raja selanjutnya akan diminta untuk menjadikan negeri ini sebagai korte verklaring (Plass, 1917: 179; Fals, 1882).
Gunung Sahilan
Di akhir abad ke-19, Asisten Residen Bengkalis berencana akan berkunjung ke Gunung Sahilan karena Yang Dipertuan menuntut daerah IV Koto di Hilir, IV Koto di Mudik, dan daerah Singingi masuk ke residennya. Klaim itu ditentang oleh daerah-daerah tersebut. Oleh karena takut dikenali oleh orang Singingi, Asisten Residen Bengkalis batal ke Gunung Sahilan.
Daerah Rokan
Ada dua daerah Sungai Rokan yang utama, yaitu Rokan Kiri dan Rokan Kanan. Di sepanjang hulu sungai itu terdapat kerajaan-kerajan kecil yang pada akhir abad ke-19 masih merdeka. Kerajaan-kerajaan tersebut adalah Kepenuhan, Rambah, dan Tambusai di Rokan Kanan serta Kunto Darussalam dan Rokan IV Koto di Rokan Kiri. Kunto Darussalam terbagi atas Kota Intan (di Tapung) dan Kota Lama. Pada tahun 1893 terjadi perselisihan antara Raja Kepenuhan dengan adiknya. Raja Rambah dan Tambusai ingin ikut campur, tetapi hal ini sudah ditangani oleh pembesar Siak. Pada tahun 1875 terdengar bahwa Yang Dipertuan Kota Intan, Jumadil Alam, telah mengumpulkan para bendahara untuk diperintah dengan paksa. Sultan Siak mengirim laskar ke sana bersama Kontrolir Siak, sehingga Jumadil Alam kembali ke Kota Intan.
Siak meninggalkan sejumlah laskar bersenjata di Kasikan. Atas dasar ini Belanda kemudian mempersiapkan ekspedisi militer untuk menghukum Kota Intan dengan mengirim colonne di bawah pimpinan Kapten lnfanteri Barthelemy dengan empat opsir dan 135 serdadu dari garnisun Medan. Pada tanggal 19 Januari 1876 ekspedisi militer Belanda ini meninggalkan Kasikan. Setelah melakukan perlawanan dengan sengit, para pejuang terpaksa berpencar ke hutan dan Belanda membakar rata Kampung Kota Intan. Pada tanggal 10 Februari 1876, sebagian besar ekspedisi militer kembali ke Medan dan di Kasikan tersisa satu detasemen militer untuk pendudukan. Pada bulan Maret 1876 kepala Kampung Lindak dan Kota Intan berunding dengan Residen Sumatera Timur. Pada tahun 1877 Tambusai ditundukkan Belanda.
Pada tahun 1881 Sultan Siak mengklaim Tambusai sebagai jajahannya, karena Raja Tambusai berdiam di wilayah Siak (Tanah Putih). Residen Bengkalis kemudian menjadi penengah atas berbagai klaim dan soal perbatasan antara Tambusai dengan Siak dan antara Kepenuhan dengan Rantau Binuang. Kemudian, dengan akta perjanjian yang ditandatangani pada tanggal 12 Januari 1885, Yang Dipertuan Zainal Abidin diakui sebagai Raja Tambusai dan Rantau Binuang dikembalikan kepada Siak (1888).
Rokan IV Koto yang terdiri dari Lubuk Bendahara, Rokan, Gedung Batu, dan Pandalian, yang dikepalai Yang Dipertuan Lubuk Bendahara, juga dikuasai Belanda pada tahun 1888. Mengenai daerah Distrik Kuantan dan Hulu Kampar dapat dibaca dalam laporan Ir. J. W. Ijzerman pada bulan Maret 1891. Ijzerman meneliti kemungkinan pengiriman batubara dari tambang Umbilin melalui Sungai Siak ke Selat Malaka (Dwars door Sumatera).
Yang Dipertuan Zainal Abidin dibuang oleh Belanda ke Madiun dengan Beslit Gubernur Jenderal tertanggal 27 November 1904 no. 3, karena berani melawan Belanda. Pada tahun 1905 Tambusai berada di bawah pemerintahan bersama antara Muhammad Sulung yang bergelar Sultan Mansyur dengan Abdul Hamid yang bergelar Sutan Jumadil Alam (dari wilayah Sosa dan Batang Kumu). Kemudian pada tahun 1917 Haji Ahmad alias Muhammad Sulung menjadi Raja Tambusai. Adapun raja-raja di Rokan yang menandatangani Pernyataan Pendek adalah (a) Yang Dipertuan Besar Abduljalil, dari Gunung Sahilan (27 Februari 1905); (b) Yang Dipertuan Besar Kasam, dari Kunto Darusslam (24 Maret 1905); (c) Yang Dipertuan Sakti Ibrahim, dari Empat Koto Rokan Kiri (1 Mei 1905); (d) Si Tampeong bergelar T. Maharaja Lela, dari Kepenuhan (27 Mei 1905); (e) Yang Dipertuan Besar Abd. Rahman, dari Gunung Sahilan (29 Mei 1907); (f) Yang Dipertuan Besar Ahmad bin Akhirzaman, dari Empat Koto Rokan Kiri (1 Mei 1910); (g) Yang Dipertuan Besar Ali Tandung, dari Kunto Darussalam (25 Juni 1910).
Kotapinang, Panai, dan Billah
Di tahun 1864 Belanda telah mengakui Sultan Mustafa sebagai Yang Dipertuan Kotapinang. Ia meninggal dan digantikan putranya, Sultan Ismail Yang Dipertuan Sakti, yang membuat pernyataan pendek tertanggal 4 September 1872. Pada tahun 1887 batas antara Kotapinang dengan wilayah Siak Tanah Putih dan Kubu diresmikan.
Di Panai, Sultan Abdullah digantikan oleh Sultan Gegar Alam. Pada tahun 1887 Sultan Gegar Alam meminta agar digantikan oleh putranya, Sultan Mengedar Alamsyah. Tahun 1884 kantor pabean Belanda di Panai diserang oleh rakyat dari arah laut. Pada tahun 1888, batas Panai dengan Siak (Kubu) diresmikan dan tahun 1895 kedudukan Kontrolir Labuhan Batu dipindahkan ke Labuan Bilik. Kemudian tahun 1883 Raja Muda Billah dibuang Belanda ke Bengkalis (Sinar, 1970).
Asahan dan Kualah
Pada tanggal 18 Maret 1882, Yang Dipertuan Muda Asahan, Naamatullah yang juga menjadi Raja Kualah-Leidong, meninggal dunia. Ia digantikan putranya, Haji Muhammad Syah, sebagai Raja Kualah dan lepas dari Asahan. Haji Muhammad Syah membuat perjanjian dengan Belanda pada tanggal 25 Maret 1886. Pemberontakan rakyat di Asahan yang menghendaki kembalinya Sultan Ahmadsyah masih terus berlangsung. Bahkan pos Belanda di Si Alang Kelong dan Bandan Baru diserang gerilyawan pada tahun 1883. Akhirnya pada tahun 1886 Sultan Ahmadsyah dikembalikan ke tahtanya di Asahan. Pada tanggal 27 Juni 1888, Sultan Ahmadsyah meninggal dunia tanpa meninggalkan anak, sehingga kedudukannya digantikan oleh Sultan Muhammad Husinsyah yang merupakan putra adiknya, Tengku Adil. Putra dan pengganti Husinsyah adalah Sultan Saibun Abdul Jalil Rahmatsyah (Kroesen, 1886).
Batubara
Bekas jajahan Siak, Tanjung, Pare-pare, dan Pagarawan, diakui Belanda sebagai wilayah tersendiri dan masuk Batubara. Pada tahun 1894, Raja Pagarawan, Datuk Setia Wangsa, dibuang ke Bengkalis dan digantikan putranya, Datuk Setia Maharaja Lela. Pada tahun 1900, Raja Tanjung Kasau digantikan adiknya, Raja Maharuddin (Scheemaker, 1869; Sinar, 1970a).
Deli, Langkat, dan Serdang
Pada tanggal 25 Oktober 1873 Sultan Mahmud meninggal dan digantikan putranya, Sultan Mahmun al Rasyid Perkasa Alamsyah. Mula-mula Sultan Siak menuntut agar Sultan Mahmun al Rasyid Perkasa Alamsyah datang ke Siak untuk menerima gelar sebagai Sultan Deli, langsung dari tangannya. Meskipun dulu Belanda mengakui hak Sultan Siak atas Deli, namun Residen menyatakan bahwa keadaan sudah berubah karena kemakmuran yang dicapai Deli, sehingga Sultan Siak mengalah dengan menghadiri pelantikan Sultan Deli di Bengkalis, seolah-olah hanya sebagai saksi. Setelah menerima surat pengangkatan dan gelar baru dari Residen atas nama pemerintah Hindia Belanda, Sultan Deli kemudian menyembah Sultan Siak untuk basa basi terhadap Sultan yang lebih tinggi kedudukannya (Brandhof, 1909).
Berdasarkan Staatblad 1879/205, kedudukan Asisten Residen Deli dipindahkan dari Labuhan ke Medan, sehingga pada tahun 1888 Sultan Deli membuat istana Maimun di Medan dan kemudian pindah ke sana. Sultan Makmun al Rasyid Perkasa Alamsyah dikenal sebagai raja yang kaya dan setelah meninggal kemudian diberi gelar Marhum Makmur. Ia juga menghibahkan tanah kepada Gubernemen Hindia Belanda untuk dijadikan tapak kota Medan. Ia digantikan oleh putranya, Sultan Amaluddin Sani Perkasa Alamsyah.
Pada tahun 1880 Sultan Serdang, Tuanku Basyaruddin Syaiful Alamsyah, meninggal dunia dan sesuai adat “Raja mangkat, raja menanam”, maka para orang besar dan rakyat menobatkan putra tunggalnya menjadi raja dan bergelar Sultan Sulaiman Syariful Alamsyah. Oleh karena raja belum dewasa, untuk sementara waktu pemerintahan dipangku pamannya, Raja Muda Mustafa.
Perselisihan soal perbatasan antara Deli dan Serdang terjadi terus-menerus, terutama mengenai Senembah, Denai, dan Percut, sehingga Belanda belum mengakui Sultan Sulaiman Syariful Alamsyah sebagai Sultan Serdang. Atas tekanan Belanda dan untuk keuntungan Deli, diputuskan bahwa Denai dikembalikan kepada Serdang (1882). Sungai Tuan dan hulu Sungai Batangkuwis dijadikan sebagai batas Deli dengan Serdang, dan Senembah dibagi dua. Setelah itu, Belanda baru mengakui Sultan Sulaiman dengan penandatanganan kontrak di Bengkalis pada tanggal 29 Januari 1887. Pada bulan Juli 1895, Sultan Sulaiman mengirimkan patroli laskar bersenjata untuk menghadapi kerusuhan di hulu Serdang (daerah Batak Karo) yang dikenal dengan nama “Perang Pak Abdullah”. Oleh karena hubungan yang mesra dengan Raja-raja Batak di hulu itu, maka banyak Raja Batak yang memasukkan daerahnya di bawah kekuasaan Serdang.
Pada tahun 1879, Pangeran Langkat Musa naik haji ke Mekah. Setelah kembali, ia menunjuk putra bungsunya sebagai bakal penggantinya. Sementara itu, gerilyawan Aceh di pedalaman Langkat terus membakar perkebunan dan tambang minyak di Brandan, sehingga Belanda menempatkan garnizun di Tanjung Pura (Sinar, 1981a). Dalam bulan Maret 1886, Kejeruan Bahorok, Tengku Abdurrahman, mengobarkan perang sabil dan mengajak rakyat Langkat untuk melawan Belanda. Ketika pasukan Belanda datang ke Bahorok, para gerilyawan yang dipimpinnya sempat pergi menyingkir ke Tanah Alas. Tidak lama kemudian, ia meninggal dunia di sana.
Pada tahun 1893 Pangeran Musa turun dari tahta dan mengangkat putra bungsunya, Sultan Abdul Azis. Kemudian Pangeran Musa mengundurkan diri dan pergi suluk pada pesantren Tuan Syekh Babussalam dari aliran Tarekat Naqsabandiyah yang dibangun Pangeran Musa sendiri di Basilam. Setelah Sultan Abdul Aziz meninggal pada tahun 1925, ia digantikan putranya, Sultan Mahmud Abdul Jalil Rahmatsyah.
- Kesultanan Melayu Di Sumatera Timur
- Kerajaan-Kerajaan Melayu Tua
- Pertentangan Aceh, Portugis, dan Imperium Melayu
- Lahirnya Kerajaan Di Pesisir Sumatera Timur
- Negeri-Negeri Batubara
- Wilayah Rokan Dan Timbulnya Perang Padri
- Pertentangan antara Inggeris dan Belanda
- Agresi Belanda Ke Sumatera Timur
- Reaksi Atas Pembukaan Tanah Perkebunan Di Deli
- Sistem Pemerintahan di Sumatera Timur
- Situasi Beberapa Kerajaan Di Sumatera Timur
- Sistem Peradilan Kerajaan Melayu Jaman Belanda
- Orang Melayu Dan Rajanya
Sumber: Khalik News
Post a Comment