Orang Melayu Dan Rajanya
Oleh T. Luckman Sinar Basyarsyah II
Dari Tuanku Luckman Sinar Basarshah II, SH - Sumber: Khalik News
Dengan tertanamnya penjajahan Belanda di Sumatera Timur, maka proses Melayunisasi Raja Melayu ke daerah pedalaman yang dihuni suku-suku Batak sudah terhalang, karena daerah tersebut disiapkan oleh Belanda sebagai daerah pengembangan agama Kristen. Seseorang dianggap sebagai Melayu apabila telah memenuhi syarat sebagai orang Islam, berbicara bahasa Melayu, mempergunakan adat Melayu, dan memenuhi syarat menetap di tempat tertentu (Nagata: 91).
Jadi, istilah Melayu adalah berdasarkan alasan kultural. Salah satu ciri orang Melayu adalah memegang konsepsi “kerajaan”. Hal ini menunjukkan pentingnya fungsi raja bagi orang Melayu dalam policy negara dan pemusatan sesuatu pada raja dalam indentitas kultural orang Melayu tua. Raja adalah simbol personifikasi nilai-nilai masyarakat dan tradisi sejarah (Milner, 1977).
Kerasnya konsep beraja tersebut ditunjukkan oleh beberapa pepatah Melayu, seperti “Ada raja adat berdiri, tiada raja adat mati” dan “Biar mati anak, daripada mati adat” (Kementerian Penerangan RI). Arti “kerajaan” di sini adalah wilayah kediaman (establishment) yang ada bandarnya. Orang Melayu sangat menghormati raja dari keturunan dinasti yang tersohor terus-menerus (illustrious and impeccable). Hal ini berfungsi sebagai legitimasi, karena menurut mereka rakyat dan negeri mudah dicari, namun dinasti purba yang tersohor tidak dapat dicari. Selama dinasti itu utuh, tidak ada alasan untuk membubarkan kerajaan. Sesuai dengan adat pada zaman Hindu dan Budha, raja dianggap “bodhisatva” yang memberikan “tantra” dan kedamaian abadi kepada rakyatnya yang setia “bhakti” dengan “anugerah”. Ada seperangkat alat musik nobat yang menjadi bagian dari regalia kerajaan, yaitu sesuatu yang bersifat sakral dan mengandung supernatural power, misalnya jin kerajaan. Pengangkatan raja baru tidak syah jika tidak “dinobatkan”. Pada zaman dahulu, jika terdengar alat musik nobat dibunyikan, maka orang berhenti bekerja seolaholah raja berada di situ (Sinar, t.t.: 3’16).
Raja ‘berdaulat’ dan mempunyai kesaktian yang tidak dipunyai rakyat biasa. Konsep ini dipengaruhi ajaran Islam yang dibawa pada abad ke-13 dan ke-14 oleh kaum Sufi ke Pasai dan negeri-negeri Melayu. Raja memakai titel ‘sultan’ atau ‘syah’ yang dianggap zil Allah fi’il alam (bayang-bayang Tuhan di atas dunia). Ketentuan ini menganggap bahwa raja yang adil dan Rasulullah ibarat dua permata dalam satu cincin dan jika orang melaksanakan tugas kepada Rasulullah seakan-akan sama dengan melaksanakan tugas kepada Tuhan.
Bahkan Tajussalatin dari Pahang menafsirkan Al Quran Surat Xl ayat 30: sebagai “Tuhan menempatkan raja di atas dunia selaku wakilnya”. Konsep ini kemungkinan besar dipengaruhi konsep raja-raja Islam di India (Nujeeb, 1967: 33). Orang Sufi menambahkan, raja diposisikan sebagai Insan al Kamil (the perfect man) yang bisa menyatukan diri dengan Tuhan. Oleh karena itu, prinsip durhaka adalah pantangan besar bagi orang Melayu, karena hal itu melawan daulat.
Sebelum berkuasanya penjajah Barat, bila seorang rakyat jelata merasa tidak diperlakukan dengan adil oleh rajanya, mereka “menyanggah” dengan cara mengumpulkan harta benda dari keluarganya lalu naik perahu meninggalkan negeri itu untuk pindah ke negeri lain. Hal ini akan memalukan raja tersebut, sebab kemakmuran dan kekuatan raja dan negeri tergantung pada sedikit banyaknya rakyat yang setia. Meskipun segalanya berpusat kepada raja, raja sendiri tidak bisa berbuat apa-apa tanpa bermusyawarah dengan menteri-menteri dan Orang Besarnya, karena merekalah yang mempunyai kekuasaan nyata. Raja dan Orang Besar ibarat “api dengan kayu”. Kemaslahatan rakyat banyak dibicarakan secara terbuka di Balairung Seri. Seorang raja harus mengindahkan hukum Islam, karena raja merupakan khalifatullah fi al ardl. Raja harus adil, mengutamakan rakyat, dan mempertahankan kehormatan mereka. Tugas seorang raja ini dapat dibaca dalam surat Sarakat Halilintar dari Sultan Aceh untuk pengangkatan Sultan Basyaruddin dari Serdang (1854) (Sinar, 1970a). Kewajiban seorang raja itu tercermin dalam pepatah “Raja memegang adat yang kanun; adat pusaka turun-temurun; adil, arif, bijak bersusun; pandai meneliti zaman beralun”.
Jadi, istilah Melayu adalah berdasarkan alasan kultural. Salah satu ciri orang Melayu adalah memegang konsepsi “kerajaan”. Hal ini menunjukkan pentingnya fungsi raja bagi orang Melayu dalam policy negara dan pemusatan sesuatu pada raja dalam indentitas kultural orang Melayu tua. Raja adalah simbol personifikasi nilai-nilai masyarakat dan tradisi sejarah (Milner, 1977).
Kerasnya konsep beraja tersebut ditunjukkan oleh beberapa pepatah Melayu, seperti “Ada raja adat berdiri, tiada raja adat mati” dan “Biar mati anak, daripada mati adat” (Kementerian Penerangan RI). Arti “kerajaan” di sini adalah wilayah kediaman (establishment) yang ada bandarnya. Orang Melayu sangat menghormati raja dari keturunan dinasti yang tersohor terus-menerus (illustrious and impeccable). Hal ini berfungsi sebagai legitimasi, karena menurut mereka rakyat dan negeri mudah dicari, namun dinasti purba yang tersohor tidak dapat dicari. Selama dinasti itu utuh, tidak ada alasan untuk membubarkan kerajaan. Sesuai dengan adat pada zaman Hindu dan Budha, raja dianggap “bodhisatva” yang memberikan “tantra” dan kedamaian abadi kepada rakyatnya yang setia “bhakti” dengan “anugerah”. Ada seperangkat alat musik nobat yang menjadi bagian dari regalia kerajaan, yaitu sesuatu yang bersifat sakral dan mengandung supernatural power, misalnya jin kerajaan. Pengangkatan raja baru tidak syah jika tidak “dinobatkan”. Pada zaman dahulu, jika terdengar alat musik nobat dibunyikan, maka orang berhenti bekerja seolaholah raja berada di situ (Sinar, t.t.: 3’16).
Raja ‘berdaulat’ dan mempunyai kesaktian yang tidak dipunyai rakyat biasa. Konsep ini dipengaruhi ajaran Islam yang dibawa pada abad ke-13 dan ke-14 oleh kaum Sufi ke Pasai dan negeri-negeri Melayu. Raja memakai titel ‘sultan’ atau ‘syah’ yang dianggap zil Allah fi’il alam (bayang-bayang Tuhan di atas dunia). Ketentuan ini menganggap bahwa raja yang adil dan Rasulullah ibarat dua permata dalam satu cincin dan jika orang melaksanakan tugas kepada Rasulullah seakan-akan sama dengan melaksanakan tugas kepada Tuhan.
Bahkan Tajussalatin dari Pahang menafsirkan Al Quran Surat Xl ayat 30: sebagai “Tuhan menempatkan raja di atas dunia selaku wakilnya”. Konsep ini kemungkinan besar dipengaruhi konsep raja-raja Islam di India (Nujeeb, 1967: 33). Orang Sufi menambahkan, raja diposisikan sebagai Insan al Kamil (the perfect man) yang bisa menyatukan diri dengan Tuhan. Oleh karena itu, prinsip durhaka adalah pantangan besar bagi orang Melayu, karena hal itu melawan daulat.
Sebelum berkuasanya penjajah Barat, bila seorang rakyat jelata merasa tidak diperlakukan dengan adil oleh rajanya, mereka “menyanggah” dengan cara mengumpulkan harta benda dari keluarganya lalu naik perahu meninggalkan negeri itu untuk pindah ke negeri lain. Hal ini akan memalukan raja tersebut, sebab kemakmuran dan kekuatan raja dan negeri tergantung pada sedikit banyaknya rakyat yang setia. Meskipun segalanya berpusat kepada raja, raja sendiri tidak bisa berbuat apa-apa tanpa bermusyawarah dengan menteri-menteri dan Orang Besarnya, karena merekalah yang mempunyai kekuasaan nyata. Raja dan Orang Besar ibarat “api dengan kayu”. Kemaslahatan rakyat banyak dibicarakan secara terbuka di Balairung Seri. Seorang raja harus mengindahkan hukum Islam, karena raja merupakan khalifatullah fi al ardl. Raja harus adil, mengutamakan rakyat, dan mempertahankan kehormatan mereka. Tugas seorang raja ini dapat dibaca dalam surat Sarakat Halilintar dari Sultan Aceh untuk pengangkatan Sultan Basyaruddin dari Serdang (1854) (Sinar, 1970a). Kewajiban seorang raja itu tercermin dalam pepatah “Raja memegang adat yang kanun; adat pusaka turun-temurun; adil, arif, bijak bersusun; pandai meneliti zaman beralun”.
Pada zaman dulu jelas bahwa without the institution of the Raja, the Malay world have fallen into confusion (Milner, 1977;108). Oleh karena itu, Belanda sangat getol berusaha menghancurkan Lembaga Orang Besar (raad van rijksgroten) di semua kerajaan Melayu, karena Belanda tahu bahwa kekuasaan politik berada di tangan Orang Besar. Dengan hancurnya Orang Besar diharapkan raja tinggal sendirian sebagai penguasa tunggal tanpa kawan musyawarah, sehingga mudah diperalat Belanda. Raja tanpa Orang Besar merupakan hal asing dalam sistem pemerintahan Melayu, karena tugas raja sebenarnya hanya berhubungan dengan tata-krama yang berkultur tinggi.
Setelah masuknya kapitalis dan perkebunan asing ke Sumatera Timur, Belanda memuji kemakmuran Cultuurgebied itu sebagai hetdollarland dan selalu merendahkan orang Melayu sebagai pemilik tanah. Mereka mencibir kemalasan orang Melayu yang tidak mau bekerja di perkebunan Belanda. Mereka selalu mengatakan bahwa yang dilakukan orang Melayu hanya menikah, bersuka ria, naik haji, dan selanjutnya hidup bermalas-malasan (Westerman, t.t.). Tanah mereka disewakan kepada orang Cina dan Jawa untuk ditanami sayur, padi, dan atau kelapa (Plass, 1917).
Keahlian seni ukir perak orang Melayu di Batubara sudah lenyap, begitu pula seni ukir kayu dan sebagainya (Kempen, 1928: 393). Belanda menyebutkan bahwa orang Melayu seakan-akan memberikan peluang kepada orang Cina dan suku-suku pendatang lainnya untuk mengambil alih usaha kerajinan tangan dan kehidupan perekonomian di Sumatera Timur. Dikonstatir pemerintah Hindia Belanda menyatakan bahwa orang Melayu tidak lama lagi akan terdesak oleh orang Jawa di Asahan dan Labuhan Batu, serta oleh orang Tapanuli (Geristsen, 1938: 71-72).
Laporan resmi Belanda mengatakan bahwa di setiap tempat dimana berdiam orang Melayu, keadaan di situ pasti terbelakang dan ekonominya tidak maju, demikian juga di wilayah Cultuurgebied Sumatera Timur. Dengan datangnya perkebunan Eropa di negerinya, rakyat Melayu tidak semakin maju, bahkan mereka terdesak (Eerde, DL I: 248-254). Orang Melayu bukan pekerja sawah, karena mereka adalah bangsa pemburu, nelayan, serta pedagang. Hal ini juga diakui oleh para pendatang (Kempen, 1928). Orang Melayu bersifat royal, patuh, serta hormat pada ketertiban, sehingga pada zaman Belanda orang Melayu hampir tidak ada yang ikut pergerakan radikal komunis.
Kelemahan orang Melayu tersebut dimanfaatkan oleh Belanda untuk menindas raja-raja Melayu. Akan tetapi, pada kenyataannya wilayah Kerajaan Riau-Lingga yang sudah diperintah langsung oleh pemerintah Hindia Belanda, dilaporkan bahwa keadaannya juga tidak lebih baik. Sebenarnya keadaan orang dan negeri Melayu di Sumatera Timur sebelum kedatangan pemerintah Hindia Belanda dan perkebunan asing sangat berbeda dengan yang dicibirkan Belanda.
Setelah masuknya kapitalis dan perkebunan asing ke Sumatera Timur, Belanda memuji kemakmuran Cultuurgebied itu sebagai hetdollarland dan selalu merendahkan orang Melayu sebagai pemilik tanah. Mereka mencibir kemalasan orang Melayu yang tidak mau bekerja di perkebunan Belanda. Mereka selalu mengatakan bahwa yang dilakukan orang Melayu hanya menikah, bersuka ria, naik haji, dan selanjutnya hidup bermalas-malasan (Westerman, t.t.). Tanah mereka disewakan kepada orang Cina dan Jawa untuk ditanami sayur, padi, dan atau kelapa (Plass, 1917).
Keahlian seni ukir perak orang Melayu di Batubara sudah lenyap, begitu pula seni ukir kayu dan sebagainya (Kempen, 1928: 393). Belanda menyebutkan bahwa orang Melayu seakan-akan memberikan peluang kepada orang Cina dan suku-suku pendatang lainnya untuk mengambil alih usaha kerajinan tangan dan kehidupan perekonomian di Sumatera Timur. Dikonstatir pemerintah Hindia Belanda menyatakan bahwa orang Melayu tidak lama lagi akan terdesak oleh orang Jawa di Asahan dan Labuhan Batu, serta oleh orang Tapanuli (Geristsen, 1938: 71-72).
Laporan resmi Belanda mengatakan bahwa di setiap tempat dimana berdiam orang Melayu, keadaan di situ pasti terbelakang dan ekonominya tidak maju, demikian juga di wilayah Cultuurgebied Sumatera Timur. Dengan datangnya perkebunan Eropa di negerinya, rakyat Melayu tidak semakin maju, bahkan mereka terdesak (Eerde, DL I: 248-254). Orang Melayu bukan pekerja sawah, karena mereka adalah bangsa pemburu, nelayan, serta pedagang. Hal ini juga diakui oleh para pendatang (Kempen, 1928). Orang Melayu bersifat royal, patuh, serta hormat pada ketertiban, sehingga pada zaman Belanda orang Melayu hampir tidak ada yang ikut pergerakan radikal komunis.
Kelemahan orang Melayu tersebut dimanfaatkan oleh Belanda untuk menindas raja-raja Melayu. Akan tetapi, pada kenyataannya wilayah Kerajaan Riau-Lingga yang sudah diperintah langsung oleh pemerintah Hindia Belanda, dilaporkan bahwa keadaannya juga tidak lebih baik. Sebenarnya keadaan orang dan negeri Melayu di Sumatera Timur sebelum kedatangan pemerintah Hindia Belanda dan perkebunan asing sangat berbeda dengan yang dicibirkan Belanda.
- Kesultanan Melayu Di Sumatera Timur
- Kerajaan-Kerajaan Melayu Tua
- Pertentangan Aceh, Portugis, dan Imperium Melayu
- Lahirnya Kerajaan Di Pesisir Sumatera Timur
- Negeri-Negeri Batubara
- Wilayah Rokan Dan Timbulnya Perang Padri
- Pertentangan antara Inggeris dan Belanda
- Agresi Belanda Ke Sumatera Timur
- Reaksi Atas Pembukaan Tanah Perkebunan Di Deli
- Sistem Pemerintahan di Sumatera Timur
- Situasi Beberapa Kerajaan Di Sumatera Timur
- Sistem Peradilan Kerajaan Melayu Jaman Belanda
- Orang Melayu Dan Rajanya
Dari Tuanku Luckman Sinar Basarshah II, SH - Sumber: Khalik News
Tulisan berjudul “Sejarah Kesultanan Melayu di Sumatera Timur" ini sama sekali tidak memuat tentang Kerajaan Padang yang berpusat di Tebing Tinggi. Entah kenapa hal itu bisa terjadi. Padahal, data kesejarahan Kerajaan Padang telah ada sejak Abad 16 M. Demikian pula ketika Kerajaan menjadi daerah vazal (taklukan) Kerajaan Deli.
ReplyDeleteSaya meyakini ada upaya menghilangkan nilai kesejarahan Kerajaan Padang dalam tulisan, disengaja atau tidak. Begitu pun tulisan ini bisa jadi bahan perbandingan untuk mengetahui dunia melayu Sumatera Timur di masa lalu. (Abdul Khalik)